Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia Pada Masa Hindu-Budha (SEJARAH PEMINATAN KLS XI IPS)
A.
Kerajaan-Kerajaan
Maritim di Indonesia Pada Masa Hindu-Budha
Kerajaan maritim merujuk kepada kerajaan-kerajaan yang
ekonominya bergantung pada perdagangan dan pelayaran. Di Indonesia,
kerajaan-kerajaan maritim sempat berjaya di masanya. Kerajaan-kerajaan maritim
di Indonesia banyak yang awalnya merupakan pendatang, kemudian mendirikan
kerajaan di Indonesia. Tercatat kerajaan maritim Hindu-Budha yang pernah
menetap dan menguasai sebagian wilayah Indonesia. Di artikel kali ini, kita
akan membahas kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Budha tersebut.
1. Kerajaan Kutai
Kerajaan
Kutai berdiri di abad ke-5 SM di dekat Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Tidak
banyak peninggalan sejarah yang menceritakan tentang kerajaan ini, kecuali
prasasti 7 yupa yang ditemukan di Muara Kaman. Prasasti tersebut ditulis dalam
bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Prasasti 7 yupa menceritakan tentang
raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Kutai, yaitu Kudungga, Aswawarman, dan
Mulawarman. Kutai dipercaya sebagai kerajaan Hindu tertua di Indonesia.
Informasi
yang ada diperoleh dari Prasasti Yupa dalam upacara pengorbanan yang berasal
dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli
dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi
sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para brahman atas kedermawanan raja
Mulawarman. Dalam agama hindu sapi tidak disembelih seperti kurban yang
dilakukan umat islam. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang
memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam
yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum
Brahmana.
a.
Aswawarman
Aswawarman adalah Anak Raja Kundungga. Ia juga
diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi
gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3
orang putra, dan salah satunya adalah Mulawarman. Putra Aswawarman
adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan
Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya
meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera
dan makmur. Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena
kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar
namanya.
b. Mulawarman
Prasasti
Kerajaan Kutai
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu
Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan
pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya.
Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang
ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.
c.
Berakhirnya Kerajaan
Kutai
Kerajaan Kutai
Martapura berakhir saat rajanya yang bernama Maharaja Dermasatia terbunuh dalam peperangan di tangan Raja
Kutai Kertanegara ke-8, Pangeran Sinum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai
ini (Kutai Martapura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kertanegara yang saat itu
ibu kota di Kutai Lama. Kutai Kartanegara inilah, pada tahun 1365, yang
disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kertanegara
selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kartanegara
yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan
(Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai
Kartanegara.
d.
Nama-Nama
Raja Kutai Martapura
Peta
Kecamatan Muara Kaman
Hanya ada lima nama
raja yang tercatat dalam sumber sejarah, yakni 3 orang di Prasasti Yupa
beraksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri
Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu. Adapun informasi lain yang
menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang
autentik, melainkan dari ucapan meranyau seorang dukun dalam upacara adat
belian.
1.
Maharaja
Kundungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)
2.
Maharaja
Asmawarman (anak Kundungga)
3.
Maharaja
Mulawarman (anak Aswawarman)
4.
Maharaja
Indera Mulia (abad ke-14)
5.
Maharaja
Dermasatia (penutup dinasti awal abad ke-17)
Nama
Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli
orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara
putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa
Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau
penduduk India bagian Selatan.
e.
Kehidupan
Ekonomi
Kehidupan ekonomi di
kutai disebutkan dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman telah
mengadakan upacara korban emas dan menghadiahkan 20.000 ekor sapi untuk
golongan Brahmana. Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut
diperoleh. Apabila emas dan sapi tersebut didatangkan dari tempat lain, bisa
disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah melakukan kegiatan dagang.
f.
Kehidupan
Budaya
Dalam kehidupan budaya
Kerajaan Kutai sudah maju. Hal ini dibuktikan melalui upacara penghinduan yang
disebut Vratyastoma. Pada masa Mulawarman upacara penghinduan tersebut dipimpin
oleh pendeta Brahmana dari orang Indonesia asli. Adanya kaum Brahmana asli
orang Indonesia membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, terutama
penguasaan terhadap bahasa Sanskerta.
2. Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan
Tarumanegara didirikan pada abad ke-5 SM dan terletak di Jawa Barat. Wilayah
kekuasaannya meliputi Banten hingga Cirebon. Beberapa sumber sejarah yang
membahas kerajaan ini adalah buku karya Claudius Ptolomeus, berita dari
Gunawarman (pendeta dari Khasmir), dan berbagai macam prasasti, seperti
Prasasti Ciaruten dan Prasasti Pasir Kaleangkak.
Sumber
ekonomi kerajaan ini adalah pertanian dan peternakan. Masyarakat Tarumanegara
juga mulai mengenal dan membudayakan teknik menulis pada batu atau prasasti
jika dilihat dari peninggalan-peninggalannya.
a. Kehidupan
Politik
Raja Purnawarman adalah raja besar yang
telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyatnya. Hal ini dibuktikan dari
prasasti Tugu yang menyatakan Raja Purnawarman telah memerintah untuk menggali
sebuah kali. Penggalian sebuah kali ini sangat besar artinya, karena pembuatan
kali ini merupakan pembuatan saluran irigasi untuk memperlancar pengairan sawah
- sawah pertanian rakyat. Adapun untuk peninggalan - peninggalan prasasti di
Kerajaan Tarumanegara antara lain adalah :
1) Prasasti
Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan di tepi
sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor. Prasasti tersebut
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Di samping itu terdapat lukisan
semacam laba - laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman. Gambar
telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu: Cap telapak kaki
melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut. Cap telapak kaki melambangkan
kekuasaan dan eksistensi seseorang sekaligus penghormatan sebagai dewa.
2) Prasasti
Jambu
Prasasti Jambu ditemukan di bukit
Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini
juga menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar
telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan raja purnawarman.
3) Prasasti
Kebon Kopi
Prasasti Kebon kopi ditemukan di kampung
Muara Hilir kecamatan Cibungbulang Bogor. Prasasti ini adalah lukisan tapak
kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah
tunggangan dewa Wisnu.
4) Prasasti
Muara Cianten
Prasasti Muara Cianten, ditemukan di
Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan
terdapat lukisan telapak kaki.
5) Prasasti
Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah
Leuwiliang, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.
6) Prasasti
Cindanghiyang
Prasasti Cindanghiyang atau prasasti
Lebak, ditemukan di kampung lebak di tepi sungai Cindanghiang, kecamatan Muncul
kabupaten pandeglang Banten. Prassasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi
2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi
prasasti tersebut mengagungkan keberanian Raja Purnawarman.
7) Prasasti
Tugu
Prasasti Tugu di temukan di daerah Tugu,
kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu
bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti
Tarumanegara yang lain sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari
prasasti tersebut. Hal - hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah
Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu
sungai Chandrabaga dan Gomati.
Dengan adanya keterangan dua buah sungai
tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut
Poerbatjaraka. Secara Etimologi sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali
Bekasi. Prasasti Tugu juga menyebutkan penanggalan walaupun tidak lengkap dengan
angka tahunnya disebutkan bulan Phalguna dan Caitra yang diduga sama dengan
bulan Februari dan April. Prasasti Tugu menyebutkan dilaksanakannya upacara
selamatan oleh Brahmana disertai dengan 1000 ekor sapi yang dihadiahkan raja.
b. Kehidupan
Sosial
Kehidupan sosial kerajaan Tarumanegara
sudah teratur dan rapi, hal ini terlihat dari upaya Raja Purnawarman yang terus
berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Raja Purnawarman
juga sangat memperhatikan kedudukan Kaum Brahmana yang dianggap penting dalam
melaksanakan setiap upacara sebagai tanda penghormatan kepada para dewa.
c. Kehidupan
Ekonomi
Prasasti tugu menyatakan bahwa Raja
Purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk membuat sebuah terusan sepanjang 6122
tombak. Pembangunan terusan ini mempunyai arti ekonomis yang besar bagi
masyarakat karena dapat dipergunakan sebagai sarana lalu - lintas pelayaran
antardaerah di kerajaan Tarumanegara dengan dunia luar. Akibatnya, kehidupan
perekonomian masyarakat Kerajaan Tarumanegara sudah berjalan teratur.
d. Kehidupan
Budaya
Sebagai bukti kebesaran Kerajaan
Tarumanegara, dapat diketahui bahwa tingkat kebudayaan masyarakat pada saat itu
sudah tinggi. Selain sebagai peninggalan budaya, keberadaan prasasti
menunjukkan telah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di Kerajaan Tarumanegara.
e. Masa
Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara
Masa keruntuhan kerajaan Tarumanegara
dialami setelah kerajaan ini dipimpin oleh raja generasi ke 13, Raja Tarusbawa
namanya. Keruntuhan kerajaan Hindu pertama di Pulau Jawa ini dilatarbelakangi
oleh kekosongan kepemimpinan karena Raja Tarusbawa lebih menginginkan untuk
memimpin kerajaan kecilnya di hilir sungai Gomati. Selain itu, gempuran
beberapa kerajaan lain di nusantara pada masa itu, terutama kerajaan Majapahit
juga memegang andil penting dalam keruntuhan Kerajaan Tarumanegara itu.
3. Kerajaan Mataram Kuno
Mataram Kuno
berdiri pada abad ke-8 SM dan berlokasi di Jawa Tengah. Kerajaan Mataram
diperkirakan berdiri selama 196 tahun dan memiliki 17 orang Raja. Raja memiliki gelar khusus seperti narapati yang
berarti manusia yang memimpin, sri
maharaja yang berasal dari bahasa Sanskerta, rakai dan abhiseka yang
semuanya berasal dari India. Raja pertama Mataram adalah Ratu Sanjaya. Kerajaan ini merupakan
salah satu kerajaan yang memiliki sumber sejarah terlengkap. Mereka
meninggalkan banyak prasasti, yaitu Prasasti Mantyasih, Prasasti Kedu, Prasasti
Kalasan, Prasasti Kalitung, Prasasti Kelurak, Prasasti Dinoyo, dan Prasasti
Canggal.
Dari sisi
politik, Kerajaan Mataram Kuno dipimpin oleh dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya
dan Dinasti Syailendra. Pada masa pemerintahan Sanjaya, Kerajaan Mataram Kuno
sedang sibuk melakukan perang dengan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Menurut Prasasti Canggal, Raja
Sanjaya adalah pendiri Mataram Kuno. Ia pun membahas tentang Lingga,
yang merupakan lambang dari Dewa Siwa. Sehingga, agama yang dianut pada masa
itu adalah Hindu Siwa.
Sedangkan dalam Prasasti
Balitung, diceritakan nama-nama Raja yang memerintah saat masa Kerajaan Dinasti Sanjaya.
Setelah Raja
Sanjaya meninggal, pemerintahan Rakai
Pikatan naik tahta. Rakai Pikatan ingin menguasai seluruh wilayah Jawa
Tengah, namun terhalang karena adanya Kerajaan Syailendra yang dipimpin
oleh Balaputradewa. Untuk
menyatukan kedua kerajaan ini, Rakai Pikatan meminang putri Pramodhawardani. Namun,
Pramodhawardani tetap menyerahkan kekuasaannya kepada Balaputradewa. Sehingga
memicu perang saudara antara dua kerajaan tersebut.
Setelah
Balaputradewa dapat dikalahkan, ia lari ke Sriwijaya. Kerajaan ini tergolong ke dalam kerajaan agraris yang
rakyatnya bermatapencaharian sebagai petani. Tapi karena Mataram Kuno cenderung
tertutup, mereka mengalami sedikit kesulitan dalam hal pengembangan ekonomi.
Berdasarkan
peninggalan yang berupa Istana Ratu Boko, kerajaan Syailendra terletak di
daerah pegunungan. Dalam Prasasti
Ratu Boko 856 M diceritakan tentang kekalahan Balaputradewa dalam
perang saudara. Setelah itu, pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Rakai
Panangkaran. Dalam Prasasti
Kalasan, Rakai Panagkaran diminta oleh Raja Wisnu untuk
mendirikan Candi Kalasan (Candi
Buddha). Selama masa pemerintahan Raja Indra, ekspansi politik dijalankan untuk memperluas daerah
hingga ke Selat Malaka. Kekuasaan kemudian diturunkan kepada Samaratungga. Pada
masa pemerintahannya, dibangunlah Candi
Borobudur. Nama Borobudur diperkirakan berasal dari kata Bhumi Sambhara yang artinya
gunung dan budhara berarti raja.
Kerajaan
Mataram Kuno menghasilkan produk-produk kebudayaan yang hingga saat ini masih
dapat kita nikmati. Peninggalan Dinasti Sanjaya adalah Candi Gedong Sanga dan
Candi Dieng. Sementara itu, peninggalan Dinasti Syailendra meliputi Candi
Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon.
4. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan
Sriwijaya dipercaya berdiri abad ke-7 SM. Terdapat perdebatan mengenai lokasi
kerajaan ini. Ada yang menyebut bahwa Kerajaan Sriwijaya bertempat di
Palembang, sementara sebagian lain percaya kalau kerajaan ini berlokasi di
Minagatamwan, Jambi. Sumber sejarah yang merujuk kepada kerajaan ini pun cukup
banyak, yaitu berupa prasasti, naskah, piagam, serta berita dari Cina. Awalnya
Kerajaan Sriwijaya ini muncul setelah munculnya kota-kota perdagangan. Wilayah pantai timur Sumatra merupakan
wilayah yang sangat ramai, hal ini dikarenakan wilayah tersebut menjadi salah
satu jalur perdagangan.
Sriwijaya
meninggalkan prasasti di dalam dan luar negeri. Beberapa prasasti peninggalan
Sriwijaya yang berada di dalam negeri adalah Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti
Talang Tuwo, Prasasti Kota Kapur, dan Prasasti Amoghapasa. Sementara itu, prasasti
yang ditinggalkan di luar negeri adalah Prasasti Linggor, Prasasti Nalanda,
Prasasti Laiden, dan lain-lain.
Dari sisi
politik, Kerajaan Sriwijaya berhasil mengembangkan politik ekspansi. Karena
itu, kerajaan ini mendapat julukan sebagai Negara Nusantara pertama. Sriwijaya
juga berhasil menguasai Selat Mahaka dan dipandang sebagai penguasa perdagangan
nasional dan internasional.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit, raja Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang, berhasil menaklukkan daerah Minangatamwan yang diperkirakan
saat ini adalah daerah Jambi. Letak
Sriwijaya yang cukup strategis mendorong interaksi antara Sriwijaya dengan
kerajaan di luar Nusantara, seperti kerajaan Nalanda dan kerajaan Chola dari India. Selain dengan India, Sriwijaya juga
melakukan hubungan baik dengan pedagang-pedagang
dari Tiongkok yang sering singgah. Perluasan daerah kekuasaan ini,
mendorong perekonomian kerajaan menjadi maju.
Selain
Dapunta Hyang, Sriwijaya pernah dipimpin oleh Raja Balaputradewa yang merupakan keturunan Dinasti Syailendra. Di bawah
kepemimpinan Balaputradewa, Sriwijaya menjadi kerajaan yang sangat berjaya.
Pada abad ke-7 M, kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan
di Selat Sunda, Selat Malaka,
Selat Bangka, dan Laut Jawa. Seperti yang disebutkan dalam Prasasti Ligor yang ditemukan di
Ligor, pangkalan kerajaan Sriwijaya berfungsi untuk mengawasi perdagangan di Selat Malaka.
Hingga abad ke-8 M, kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan di Asia Tenggara. Oleh karena
kekuasaannya yang sangat luas, Sriwijaya menjadi kerajaan maritim terbesar di seluruh Asia Tenggara.
Walaupun
kerajaan Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di luar India, Sriwijaya tidak
memiliki peninggalan budaya berupa candi-candi atau archa dalam bidang
kebudayaan. Kepercayaan kerajaan Sriwijaya merupakan Buddha Mahayana.
Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran mulai pada abad ke-13 M, ditandai
dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar seperti kerajaan Siam yang sama-sama menguasai jalur perdagangan.
Selain itu, munculnya kerajaan
Singasari yang ingin menyatukan wilayah Nusantara, mulai mengirim
ekspedisi ke arah barat yang disebut ekspedisi Pamalayu. Aktifitas perdagangan juga sudah mulai
berkurang, sehingga para pedagang menyeberang ke daerah Tanah Genting Kra. Kekuasaan Sriwijaya
mulai berakhir karena munculnya kerajaan
Majapahit dan dihancurkan pada 1377M.
5. Kerajaan Singasari
Kerajaan
Singasari adalah salah satu kerajaan maritim di Indonesia yang didirikan oleh
Ken Arok di Malang, Jawa Timur pada tahun 1222. Sumber sejarah yang menjelaskan
keberadaan kerajaan ini adalah Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca yang
menceritakan tentang raja-raja yang memerintah Singasari. Ada pula Kitab
Pararaton yang memaparkan tentang misteri Ken Arok. Raja-raja yang pernah
memimpin Singasari berdasarkan Negarakertagama adalah Ken Arok, Anusapati,
Tohjoyo, Rangawuni, dan Kertanegara.
Ekonomi
Kerajaan Singasari bertumpu pada pertanian, perdagangan, dan pelayaran. Kondisi
ekonomi Singasari semakin membaik di masa pemerintahan Kertanegara. Singasari
meninggalkan berbagai produk kebudayaan berupa candi dan patung. Beberapa candi
peninggalan Singasari adalah Candi Kidal, Candi Jago, dan Candi Singasari.
Sementara itu, patung-patung yang ditinggalkan adalah patung Ken Dedes dan
Kertanegara.
6. Kerajaan Majapahit
Berdasarkan
sumber sejarah, Kerajaan Majapahit bertempat di sekitar Sungai Brantas,
Mojokerto. Majapahit dikenal sebagai kerajaan Hindu terbesar di Indonesia dan
dijuluki sebagai kerajaan nasional kedua karena berhasil menguasai sebagian
besar wilayah Nusantara. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya, yaitu
menantu dari raja Singasari terakhir, Kertanegara. Raden Wijaya dinobatkan
sebagai raja tahun 1293 M dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Raden
Wijaya meninggal tahun 1309 M dan digantikan oleh putranya Jayanegara.
Jayanegara
kemudian diteruskan oleh Tribhuana Tunggadewi. Setelah mengundurkan diri di
tahun 1350, Tribhuana Tunggadewi menunjuk anaknya, Hayam Wuruk, sebagai raja.
Hayam Wuruk ditemani oleh Gajah Mada sebagai mahapati. Di bawah kepemimpinan
Hayam Wuruk, Majapahit berhasil menaklukkan wilayah Nusantara. Gajah Mada
meninggal di tahun 1364 M, sementara Hayam Wuruk meninggal tahun 1389 M. Hayam
Wuruk digantikan oleh Wikramawardhana yang menjabat selama 12 tahun sebelum wafat
di tahun 1429 M.
Kerajaan
Majapahit bergantung pada pertanian dan perdagangan di sektor ekonomi. Di bawah
kepemimpinan Hayam Wuruk, Majapahit membangun jalan lalu lintas dan pelabuhan.
Barang-barang yang didagangkan oleh Majapahit di antaranya adalah beras,
rempah-rempah, dan kayu cendana. Kerajaan Majapahit meninggalkan berbagai candi
sebagai produk kebudayaan, yaitu Candi Panataran, Candi Brahu, Candi Bentar,
Candi Bajang Ratu, dan Candi Tikus. Majapahit juga meninggalkan berbagai karya
sastra, seperti Kitab Negarakertagama, Kitab Sutasoma, Kitab Paraton, dan Kitab
Arjunawijaya.
7. Kerajaan
Medang Kamulan
Kerajaan Medang Kamulan terletak di Jawa Timur, tepatnya di muara sungai
Brantas. Kerajaan ini merupakan hasil pemindahan kerajaan Mataram Kuno akibat bencana alam
gunung Merapi, dan yang mendirikan adalah Mpu Sindok. Selama masa pemerintahan Mpu Sindok, wilayah kekuasaan
kerajaan Medang Kamulan meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Timur, seperti
Nganjuk bagian barat, Pasuruan bagian timur, Surabaya bagian utara, dan Malang
bagian Selatan. Mpu Sindok memiliki gelar Sri Isyanatunggadewa karena mendirikan Dinasti Isyana.
Mpu Sindok merupakan keturunan dari Dinasti Sanjaya dari Mataram, namun karena desakan dari
Sriwijaya, akhirnya Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur.
Pada masa pemerintahan Mpu Sindok, aktifitas
perdagangan cukup tinggi di Jawa Timur. Sampai masa
pemerintahan Dharmawangsa,
aktifitas perdagangan meluas sampai keluar daerah Jawa Timur.
Ada hal yang
perlu kita teladani dari apa yang dilakukan oleh Mpu Sindok. Untuk bidang sosial budayanya, Mpu Sindok mencontohkan bagaimana sikap
toleransi. Satu bentuk toleransinya adalah ketika Mpu Sinduk mengizinkan
penyusunan kitab Sanghyang
Kamahayanikan, yang merupakan kitab suci agama Buddha, padahal Mpu Sindok adalah penganut agama
Hindu.
8. Kerajaan Pajajaran
Kerajaan
Pajajaran terletak di Parahyangaan Sunda. Kerjaan Pajajaran disebut juga dengan
Kerjaan Sunda. Kerjaan Pajajaran di dirikan oleh Sri Jayabhupati pada tahun
923, hal ini disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak yang berada di Cibadak,
Sukabumi. Kerjaan Pajajaran mencapai puncak
kejayaan dibawah pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Raja Sri
Baduga atau Siliwangi membangun banyak tempat seperti telaga, jalan menuju
ibukota Pakuan dan Wanagiri. Pakuan pajajaran adalah
ibu kota (Dayeuh dalam Bahasa Sunda Kuno) Kerajaan Sunda
Galuh yang pernah berdiri pada tahun 1030-1579 M di Tatar Pasundan, wilayah
barat pulau Jawa. Lokasinya berada di wilayah Bogor, Jawa
Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut
nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda Galuh sering
disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan.
Lokasi Pajajaran pada abad ke-15 dan abad ke-16 dapat dilihat
pada peta Portugis yang menunjukkan lokasinya di wilayah Bogor, Jawa Barat. Sumber
utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di
Pajajaran dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah
kuno Bujangga Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan, dan
kebiasaan-kebiasaan masa itu.
a.
Kemunduran
"Sang
Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata."
Artinya:
"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri
Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton
Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu
Dewata."
Pakuan Pajajaran hancur,
rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan Kesultanan
Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan dirampasnya Palangka
Sriman Sriwacana (batu penobatan tempat seorang calon raja dari trah
kerajaan Sunda duduk untuk dinobatkan menjadi raja pada tradisi monarki di
Tatar Pasundan), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton
Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20
cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak
dimungkinkan lagi penobatan raja baru, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus
kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri
Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat
ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten.
Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman. Saat itu diperkirakan terdapat
sejumlah penggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap di
daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat,
dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.
b. Raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran
Berikut adalah raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran:
1.
Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan
(Bogor sekarang)
2.
Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
3.
Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
4.
Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
5.
Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena
serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
6.
Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya
Kencana, memerintah dari Pandeglang.
c.
Asal-usul
Asal
usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil
penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:
1)
Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah
berbahasa Sunda Kuno ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran
didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
2)
K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe
Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di
dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki
nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle,
nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan
Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe
bomen").
3)
G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van
Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung
pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat"
(spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku
Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan
"Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai
"berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang
dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang
dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan
Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran
menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang
dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein
Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
4)
R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De
Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan
bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno
"pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w",
ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan
diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau
istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana
yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
5)
H. ten Dam (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam
ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan
pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen
Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian
"Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu
yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda
kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita
Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang
dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".
Ia
berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum
yang berarti ibu kota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata
"pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk
laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana
Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai Besar" dan
"Sungai Tanggerang" (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane).
Ten Dam
menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk
beberapa kilometer Ci Liwung dan Ci Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran
dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh
Pajajaran". Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan
"Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor
1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi. Dalam
naskah Carita
Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu
nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di
Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati,
inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang
membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di
Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang
Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut
"pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan
seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut
keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan
dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang
berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana
yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.
Diperkirakan
ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta,
Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam
peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah
nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain,
yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta
di Jayakarta pada masa silam. Karena nama yang panjang itulah mungkin
orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran.
Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibu kota dan akhirnya menjadi nama
negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta
Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibu kota dan nama daerah. Ngayogyakarta
Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat
Ten Dam (Pakuan = ibu kota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari
segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa
bahwa ibu kota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan
terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari
pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya
dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan
Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila
bermaksud menyebut ibu kota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata
"dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan"
untuk menyebut ibu kota kerajaan. Karena lokasi Pakuan yang berada di antara
dua sungai yang sejajar maka Pakuan disebut juga Pajajaraan.
d. Naskah kuno
Salinan gambar "Lokasi dan Tempat Ibu
Kota Pakuan Pajajaran" dari buku Kabudayaan Sunda Zaman Pajajaran Jilid 2,
2005)
Dalam kropak (tulisan pada
lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Museum Pusat terdapat petunjuk
yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan
khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan
(biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian
keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
“ |
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri
Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta
ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan.
Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun
Maharaja Tarusbawa. Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh
Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura
Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa
dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat
Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa. |
” |
Dari sumber kuno itu dapat
diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci
Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung
Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi.
Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu
sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya
menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuno dan Jawa
Kuno kata "kancil" memang berarti "peucang".
e. Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama
mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi
pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan
Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni.
Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC
("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan
EIC disebut Kumpeni Inggris. Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681),
Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684).
Dalam persetujuan itu ditetapkan Ci Sadane menjadi batas kedua belah pihak.
f.
Laporan Scipio
Dua catatan
penting dari ekspedisi Scipio adalah:
·
Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju
Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex"
sekarang. Berikut adalah salah satu bagian catatannya: "Jalan dan lahan
antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak
sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".
·
Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat
"Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan
tiga buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh
penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari perjalanannya disimpulkan
bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah"
kerajaan hanyalah "Situs Batutulis". Penemuan Scipio segera
dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda.
Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa
menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de
verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa
istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja
"Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat
oleh sejumlah besar harimau).
Rupanya laporan penduduk Parung
Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau
di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan
Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan mitos
adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.
g. Laporan Adolf Winkler (1690)
Laporan Scipio menggugah para
pimpinan Kompeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi
dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang
kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur. Perjalanan ringkas
ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut : Seperti Scipio, Winkler
bertolak dari Kedunghalang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan.
Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut twee lanen ("jalan
dua lajur"). Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan
tersebut sejajar dengan aliran Ci Liwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu
ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini
sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai
Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding
tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke
arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca.
Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung
(waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan
durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
Bila kembali ke catatan Scipio
yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu
bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan
bahwa kompleks "Unitex" itu pada zaman Pajajaran merupakan
"Kebun Kerajaan". "Tajur" adalah kata Sunda Kuno yang
berarti "tanam, tanaman, atau kebun". Tajuragung sama artinya dengan
"Kebon Besar" atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan,
Tajuragung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula
penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.
·
Dari Tajuragung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh
jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini
menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo"
sekarang). Di situlah letak Kampung Lawanggintung pertama sebelum pindah ke
"Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawanggintung).
Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantarpeuteuy
(depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon gintung.
·
Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang
sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana
kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben).
Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan
tujuh pohon beringin.
·
Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang
dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs
Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca
"Purwagalih", maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara
tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang
indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil
ini bersambung dengan Balekambang ("rumah terapung"). Balekambang ini
adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah
seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.
Dengan indikasi tersebut,
lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan
Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang
dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan
Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di
sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat
gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
·
Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia
memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di
dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut
demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).
Yang penting adalah untuk kedua
batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah
telantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur,
oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada
posisi semula.
·
Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum
disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana
terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa
Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad
Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian
disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri
bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687
mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan
Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka
warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.
h. Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
Abraham adalah putera Jan
van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan.
Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan
sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali
sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh
istrinya yang digotong dengan tandu. Rute perjalanan tahun 1703: Benteng -
Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondokcina - Depok - Pondokpucung (Citayam)
- Bojongmanggis (dekat Bojonggede) - Kedunghalang - Parungangsana (Tanah Baru).
Rute perjalanan tahun 1704:
Benteng - Tanahabang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondokcina dan seterusnya
sama dengan rute 1703. Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanahabang - Karet
- Serengseng - Pondokpucung - Bojongmanggis - Pagerwesi - Kedungbadak -
Panaragan. Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari
arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah
dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis
dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis
tentang de toegang (jalan masuk) atau de opgang (jalan
naik) ke Pakuan.
Beberapa hal yang dapat
diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
·
Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada
zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam
(sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
·
Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan
jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang
penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
·
Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah
parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan.
Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota.
·
Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas
yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.
Pada kunjungan tahun 1704, di
seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih"
ia telah mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama "Batutulis".
Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti
tersebut.
i.
Hasil Penelitian
Prasasti Batutulis sudah
mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan
tangan" untuk Universitas Leiden, Belanda. Upaya pembacaan pertama
dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang
ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus
Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi
prasasti itu. Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya
sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en
Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di
dekat Bogor", Pleyte menjelaskan,
"Waar alle
legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige
dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond,
aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te
trachten".
(Dalam hal legenda-legenda
dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung Batutulis yang sekarang
terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah
menelusuri letaknya yang tepat).
Sedikit kontradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk
kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan
lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang.
Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana
Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan
bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi
Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam"
dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero
Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan
Jalan Batutulis.
Peneliti lain seperti Ten Dam
menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni
Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor
yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data
kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan
bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu
terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor.
Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk)
itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik
logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan"
itu. Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen
"Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan
bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga
kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua.
Selain itu, lokasinya terlalu
berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah
untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa
tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas
kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota
yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa
benteng ini "Kuta Maneuh".
Sebenarnya hampir semua
peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14
Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana)
yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban"
dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang
Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan
batu-batu bekas "balay" yang lama.
Penelitian lanjutan membuktian
bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah
dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti
"porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga
dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas
lokasi gerbang. Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang
menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing
Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan
Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan
pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke
Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas fondasi benteng.Selanjutnya
benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat
simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi
benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang
membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut
sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu
menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat
daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus
memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung Lawanggintung
benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci
Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas
Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci
Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan
memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing
Kampung Cincaw.
9. Kerajaan Kadiri
Kerjaan
Kadiri atau Kerajaan Kediri merupakan salah satu kerajaan yang bercorak Hindu
dan terletak di Kediri, Jawa Timur sekitar tahun 1042 hingga 1222. Pusat
kerajaan Kadiri teretak di daerah Daha (sekarang Kediri). Hal ini ditunjukkan
dari adanya prasasti Pamwatan dari Airlangga.
a. Kehidupan
Politik
Keadaan politik pemerintahan dan keadaan
masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita dari Cina, yaitu dalam kitab
Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 dan pada kitab
Chu-fan-chi yang disusun oleh Chaujukua pada tahun 1225. Kitab itu melukiskan
keadaan pemerintahan dan masyarakat zaman Kediri. Kitab itu menggambarkan masa
pemerintahan Kediri termasuk stabil dan pergantian takhta berjalan lancar tanpa
menimbulkan perang saudara. Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu
oleh tiga orang putranya dan empat pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300
pejabat sipil (administrasi) dan 1.000 pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah
30.000 orang dengan mendapat gaji dari kerajaan. Raja berpakaian sutra, memakai
sepatu kulit, perhiasan emas, dan rambutnya disanggul ke atas. Jika bepergian,
raja naik gajah atau kereta dengan dikawal oleh 500–700 prajurit. Pemerintah
sangat memperhatikan keadaan pertanian, peternakan, dan perdagangan. Pencuri
dan perampok jika tertangkap dihukum mati.
Setelah 58 tahun mengalami masa suram,
Kerajaan Panjalu (Kediri) bangkit lagi sekitar tahun 1116. Raja yang
memerintah, antara lain sebagai berikut.
1) Rakai Sirikan Sri Bameswara
Raja Bameswara pertama adalah Sri Maharaja
Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana Sarwwaniwaryya Wiryya Parakrama
Digjayattunggadewa. Hal itu disebutkan pada Prasasti Pandlegan I yang berangka
tahun 1038 Saka (1116 Masehi). Raja Sirikan masih mengeluarkan prasasti lain,
yaitu
·
Prasasti
Panumbangan berangka tahun 1042 Saka (1120 M)
·
Prasasti
Geneng berangka tahun 1050 Saka (1128 M)
·
Prasasti
Candi Tuban berangka tahun 1052 Saka (1130 M)
·
Prasasti
Tangkilan berangka tahun 1052 Saka (1130 M).
Prasasti lainnya adalah Prasasti Karang
Reja berangka tahun 1056 Saka (1136 Masehi), tetapi tidak jelas siapa yang
mengeluarkannya. Apakah dikeluarkan oleh Bameswara atau Jayabaya? Lencana
kerajaan yang digunakan adalah tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang
disebut Candrakapala. Bameswara diperkirakan memerintah hingga tahun 1134 M.
2)
Raja
Jayabaya
Pengganti Raja Bameswara adalah Jayabaya
yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudana Wataranindita Parakrama
Digjayottunggadewanama Jayabhayalancana. Ia memerintah pada tahun 1057 Saka
(1135 M). Salah satu prasastinya yang menarik adalah Prasasti Talan berangka
tahun 1508 Saka (1136 M) yang berisi pemindahan Prasasti Ripta (tahun 961 Saka)
menjadi Prasasti Dinggopala oleh Raja Jayabaya. Dalam prasasti itu, ia
disebutkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
Lencana kerajaan yang dipakai adalah
Narasingha, tetapi pada Prasasti Talan disebutkan pemakaian lencana Garuda
Mukha. Pada Prasasti Hantang (1057 Saka) atau 1135 M dituliskan kata pangjalu
jayati, artinya panjalu menang berperang atas Jenggala dan sekaligus untuk
menunjukkan bahwa Jayabaya adalah pewaris takhta kerajaan yang sah dari
Airlangga.
3)
Raja
Sarweswara
Pengganti Raja Jayabaya ialah Sri Maharaja
Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardhanawatara Wijayagrajasama
Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama. Sarweswara
memerintah tahun 1159 hingga 1169. Lencana kerajaan yang digunakan adalah
Ganesha.
4)
Sri
Aryyeswara
Raja Sarweswara kemudian digantikan oleh
Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusudanawatararijamukha. Masa
pemerintahan Raja Sri Aryyeswara hanya sampai tahun 1181 dan digantikan oleh
Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita
Digjayattunggaduwanama Sri Gandra.
5)
Sri
Gandra
Pada masa pemerintahan Sri Gandra dikenal
jabatan senapati sarwajala (laksamana laut). Dengan jabatan itu, diduga Kediri
mempunyai armada laut yang kuat. Di samping itu, juga dikenal pejabat yang
menggunakan nama-nama binatang, misalnya Kebo Salawah, Lembu Agra, Gajah
Kuning, dan Macan Putih.
6)
Kameswara
Kameswara memerintah Kerajaan Kediri tahun
1182–1185. Kameswara bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Tri Wikramawatara
Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama. Pada masa pemerintahan
Kameswara, seni sastra berkembang pesat.
7)
Kertajaya
Setelah Kameswara mangkat, raja yang
memerintah Kediri adalah Kertajaya atau Srengga. Gelar Kertajaya ialah Sri
Maharaja Sarweswara Triwikramataranindita Srenggalancana
Digjayattunggadewanama. Kertajaya adalah raja terakhir yang memerintah Kediri.
Kertajaya memerintah Kediri tahun 1185–1222. Pada masa pemerintahannya, Kertajaya
sering berselisih pendapat dengan para brahmana. Para brahmana kemudian minta
perlindungan kepada Ken Arok. Kesempatan emas itu digunakan Ken Arok untuk
memberontak raja. Oleh karena itu, terjadilah pertempuran hebat di Ganter.
Dalam pertempuran itu, Ken Arok berhasil mengalahkan Raja Kertajaya. Dengan
berakhirnya masa pemerintahan Kertajaya, berakhir pula masa pemerintahan
Kerajaan Kediri sebagai kelanjutan Dinasti Isana yang didirikan oleh Empu
Sindok.
b. Kehidupan Ekonomi
Kediri merupakan kerajaan agraris dan
maritim. Masyarakat yang hidup di daerah pedalaman bermata pencaharian sebagai
petani. Hasil pertanian di daerah pedalaman Kerajaan Kediri sangat melimpah
karena didukung oleh kondisi tanah yang subur. Hasil pertanian yang melimpah
memberikan kemakmuran bagi rakyat. Masyarakat yang berada di daerah pesisir
hidup dari perdagangan dan pelayaran. Pada masa itu perdagangan dan pelayaran
berkembang pesat. Para pedagang Kediri sudah melakukan hubungan dagang dengan
Maluku dan Sriwijaya. Pada masa itu, mata uang yang terbuat dari emas dan
campuran antara perak, timah, dan tembaga sudah digunakan. Hubungan antara
daerah pedalaman dan daerah pesisir sudah berjalan cukup lancar. Sungai Brantas
banyak digunakan untuk lalu lintas perdagangan antara daerah pedalaman dan
daerah pesisir.
c.
Kehidupan Sosial Budaya
Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur.
Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta
rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima
maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan
Buddha.
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat
tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan
sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan
berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah
lakunya. Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya.
Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada zaman Kediri karya sastra berkembang
pesat. Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya,
raja pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke
dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh
Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai
sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala,
sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh
juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa. Pada masa pemerintahan
Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai berikut.
1)
Kitab
Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab
itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
2)
Kitab
Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi
pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga
menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
3)
Kitab
Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai
seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa,
ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
Selain karya sastra tersebut, masih ada
karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri, antara lain sebagai berikut.
1)
Kitab
Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal,
tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya
menikah dengan Dewi Rukmini.
2)
Kitab
Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang
terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Adakalanya cerita itu dijumpai dalam
bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada
relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna.
10. Kerajaan Salakanegara
Kerajaan Salakanegara
berada di daerah Jawa Barat. Kerjaan ini diyakini sebagai kerajaan paling awal di Nusantara, dan diperkirakan
berdiri pada abad ke-2 masehi. Kerajaan ini dipercaya sebagai kerajaan leluhur orang Sunda dan
juga merupakan cikal – bakal orang betawi. Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan
ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang
ada di Nusantara. Salakanagara diyakini sebagai leluhur Suku Sunda, hal dikarenakan wilayah peradaban Salakanagara sama
persis dengan wilayah peradaban orang Sunda selama berabad-abad. Dan yang
memperkuat lagi adalah kesamaan kosakata antara Sunda dan Salakanagara.
Disamping itu ditemukan bukti lain berupa Jam Sunda atau Jam Salakanagara,
suatu cara penyebutan Waktu/Jam yang juga berbahasa Sunda.
Tokoh
awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang
disebut Argyrè oleh Ptolemeus dalam tahun 150,
dikarenakan Salakanagara diartikan sebagai "Negara Perak" dalam
bahasa Sansakerta. Kota ini terletak
di daerah Teluk Lada, Pandeglang, Banten. Adalah Aki
Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua
duta dari Pallawa Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya
bernama Dewi Pohaci Larasati diperistri oleh Dewawarman. Hal ini membuat
semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat
dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.
Ketika Aki
Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia
kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara beribu kota
di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa
Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah
kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agninusa (Negeri Api) yang berada
di Pulau Krakatau.
Rajatapura adalah
ibu kota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat
pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun,
tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I
sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja
Dewawarman II dengan gelar Prabu
Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja
Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak
itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah
kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi
yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa
kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan
sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.
a.
Pendahulu Kerajaan Tarumanagara
Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah
menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana
di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan
ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya. Di
kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara,
pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara
kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Memang
banyak para ahli yang masih memperdebatkan masalah institusi kerajaan
sebelum Tarumanegara melalui berbagai sumber sejarah seperti berita
Tiongkok dan bangsa Eropa atau naskah-naskah Kuno. Claudius Ptolemaeus,
seorang ahli bumi masa Yunani Kuno menyebutkan sebuah negeri bernama Argyrè yang
terletak di wilayah Timur Jauh. Negeri ini terletak di ujung barat Pulau Iabodio yang
selalu dikaitkan dengan Yawadwipa yang kemudian diasumsikan
sebagai Jawa. Argyrè sendiri berarti perak yang kemudian
”diterjemahkan” oleh para ahli sebagai Merak.
Kemudian
sebuah berita Tiongkok yang berasal dari tahun 132 M menyebutkan wilayah Ye-tiao yang
sering diartikan sebagai Yawadwipa dengan rajanya Pien yang
merupakan lafal Mandarin dari bahasa Sansakerta Dewawarman.
Namun tidak ada bukti lain yang dapat mengungkap kebenaran dari dua berita
asing tersebut.
b.
Raja-raja Salakanagara
Daftar nama-nama raja yang memerintah
Kerajaan Salakanagara adalah:
Tahun
berkuasa |
Nama
raja |
Julukan |
Keterangan |
130-168
M |
Dewawarman
I |
Prabu
Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara |
Pedagang
asal Bharata (India) |
168-195
M |
Dewawarman
II |
Prabu
Digwijayakasa Dewawarmanputra |
Putra
tertua Dewawarman I |
195-238
M |
Dewawarman
III |
Prabu
Singasagara Bimayasawirya |
Putra
Dewawarman II |
238-252
M |
Dewawarman
IV |
Menantu
Dewawarman II, Raja Ujung Kulon |
|
252-276
M |
Dewawarman
V |
Menantu
Dewawarman IV |
|
276-289
M |
Mahisa
Suramardini Warmandewi |
Putri
tertua Dewawarman IV & istri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur
melawan bajak laut |
|
289-308
M |
Dewawarman
VI |
Sang
Mokteng Samudera |
Putra
tertua Dewawarman V |
308-340
M |
Dewawarman
VII |
Prabu
Bima Digwijaya Satyaganapati |
Putra
tertua Dewawarman VI |
340-348
M |
Sphatikarnawa
Warmandewi |
Putri
sulung Dewawarman VII |
|
348-362
M |
Dewawarman
VIII |
Prabu
Darmawirya Dewawarman |
Cucu
Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara |
Mulai
362 M |
Dewawarman
IX |
Salakanagara
telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara |
c. Kerajaan Bawahan Salakanagara
Salakanagara membawahi
kerajaan-kerajaan kecil, yang didirikan oleh orang-orang yang berasal dari
dinasti Dewawarman (raja-raja yang memerintah Salakanagara). Kerajaan yang
menjadi bawahan Salakanagara antara lain:
1)
Kerajaan Ujung Kulon
Kerajaan Ujung Kulon berlokasi di wilayah Ujung Kulon dan
didirikan oleh Senapati Bahadura Harigana Jayasakti (adik kandung Dewawarman
I). Saat kerajaan ini dipimpin oleh Darma Satyanagara, sang raja menikah dengan
putri dari Dewawarman III dan kemudian menjadi raja ke-4 di Kerajaan
Salakanagara. Ketika Tarumanagara tumbuh
menjadi kerajaan yang besar, Purnawarman (raja
Tarumanagara ke-3) menaklukkan Kerajaan Ujung Kulon. Akhirnya Kerajaan Ujung
Kulon menjadi Kerajaan bawahan dari Tarumanagara. Lebih dari itu, pasukan Kerajaan Ujung Kulon juga ikut
membantu pasukan Wisnuwarman (raja
Tarumanagara ke-4) untuk menumpas pemberontakan Cakrawarman.
2) Kerajaan
Tanjung Kidul
Kerajaan
Tanjung Kidul beribu
kota Aghrabintapura (Sekarang
termasuk wilayah Cianjur Selatan). Kerajaan ini dipimpin oleh Sweta Liman Sakti
(adik ke-2 Dewawarman I).
d. Pengaruh
dari India
Pendiri Salakanagara,
Dewawarman, merupakan seorang duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari
Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan putri
penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Salankayana, Bharata karena
daerahnya dikuasai Magada. Sementara Kerajaan Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan
lain.
11. Kerajaan Kalingga
Kerjaaan
Kalingga atau yang disebut juga dengan Kerajaan Holing terletak di wilayah
pesisir utara Jawa Tengah, dengan pusat pemerintah berada di wilayah Pekalongan
dan Jepara. Mayoritas masyarakat Kerajaan Kalingga beragama Hindu dan Budha
serta menggunakan bahasa Sansekerta dan Melayu Kuno. Puncak kejayaan Kalingga
adalah saat berada dalam kepemimpinan Ratu Shima yang memerintah sekitar tahun
674 masehi hingga 732 masehi.
Kehidupan
Politik Kerajaan Kalingga Kehidupan Politik Pada abad VII Masehi Kerajaan
Kalingga pernah dipimpin seorang ratu bernama Sima. Ratu Sima menjalankan
pemerintahan dengan tegas, keras, adil, dan bijaksana. Dia melarang rakyatnya
untuk menyentuh dan mengambil barang bukan milik mereka yang tercecer di jalan.
Bagi siapa pun yang melanggar akan memperoleh hukuman berat. Hukum di Kalingga
dapat ditegakkan dengan baik. Rakyat taat pada peraturan yang dibuat ratu
mereka. Oleh sebab itu, ketertiban dan ketentraman di Kalingga berjalan baik.
Menurut naskah Carita Parahyangan, Ratu Sima mempunyai cucu bernama Sahana yang
menikah dengan Raja Brantasenawa dari Kerajaan Galuh. Sahana mempunyai anak
bernama Sanjaya yang kelak menjadi Dinasti Sanjaya. Sepeninggalan Ratu Sima,
Kerajaan Kalingga ditaklukan oleh Kerajaan Sriwijaya.
Kehidupan
Ekonomi Kerajaan Kalingga Kerajaan Kalingga mengembangkan perekonomian
perdagangan dan pertanian. Letaknya yang dekat dengan pesisir utara Jawa Tengah
menyebabkan Kalingga gampang diakses oleh para pedagang dari luar negeri.
Kalingga adalah daerah penghasil kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan
gading sebagai barang dagangan. Sementara wilayah pedalaman yang subur,
dimanfaatkan penduduk untuk mengembangkan pertanian. Hasil-hasil pertanian yang
diperdagangkan antara lain beras dan minuman. Penduduk Kalingga dikenal pandai
membuat minuman berasal dari bunga kelapa dan bunga aren. Minuman tesebut
mempunyai rasa manis dan bisa memabukkan. Dari hasil perdagangan dan pertanian
itu, penduduk Kalingga hidup makmur.
Kehidupan
Agama Kerajaan Kalingga Kerajaan Kalingga adalah pusat agama Buddha di Jawa.
Agama Buddha yang berkembang di Kalingga adalah ajaran Buddha Hinayana. Pada
tahun 664 seseorang pendeta Buddha dari Cina bernama Hwi-ning berkunjung ke
Kalingga. Dia dating untuk menerjemahkan sebuah naskah terkenal agama Buddha
Hinayana dari bahasa Sanskerta dalam bahasa Cina. Usaha Hwing-ning ditolong
oleh seorang pendeta Buddha dari Jawa bernama Jnanabadra.
Kehidupan
Sosial Budaya Kerajaan Kalingga Penduduk Kalingga hidup dengan teratur.
Ketertiban dan ketentraman sosial di Kalingga dapat berjalan dengan baik berkat
kepemimpinan Ratu Sima yang tegas dan bijaksana dalam menjalankan hukum dan
pemerintahan. Dalam menegakkan hukum Ratu Sima tidak membedakan antara rakyat
dengan anggota kerabatnya sendiri. Berita mengenai ketegasan hukum Ratu Sima
pernah didengar oleh Raja Ta-Shih. Ta-Shih adalah sebutan Cina untuk kaum
muslim Arab dan Persia. Raja Ta-Shih lalu menguji kebenaran khabar tersebut.
Dia memerintahkan anak buahnya untuk meletakkan satu kantong emas di jalan
wilayah Kerajaan Ratu Sima. Selama tiga tahun kantong itu dibiarkan tergeletak
di jalan dan tidak seorang pun berani menyentuh. Setiap orang melewati kantong
emas itu berusaha menyingkir. Pada suatu hari putra mahkota tidak sengaja
menginjak kantong itu sehingga isinya berhamburan. Kejadiaan ini membuat Ratu
Sima marah dan memerintahkan hukuman mati untuk putra mahkota. Akan tetapi,
para menteri berusaha memohon pengampunan untuk putra mahkota. Ratu Sima
menanggapi permohonan itu dengan memerintahkan agar jari kaki putra mahkota yang
menyentuh kantong emas dipotong. Peristiwa ini adalah bukti ketegasan Ratu Sima
dalam menegakkan hukum.
12. Kerajaan Kahuripan
Kerajaan
Kahuripan berada di wilayah Jawa Timur dan didirikan oleh Airlangga pada tahun
1009, Airlangga sendiri memerintah kerajaan Kahurioan dari tahun 1009 hingga
1042 masehi. Dalam kepemerintahannya Airlangga, berupaya untuk menyatukan
kembali kerajaan-kerajaan kecil yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Medang (kerajaan sebelum kerajaan Kahuripan). Keinginan Airlangga tersebut
kemudian berubah menjadi misi untuk menaklukan seluruh wilayah Jawa.
Nama
Kahuripan muncul kembali dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit yang
berdiri tahun 1293. Raden Wijaya sang pendiri kerajaan tampaknya
memperhatikan adanya dua kerajaan yang dahulu diciptakan oleh Airlangga.
Dua kerajaan tersebut adalah Kadiri alias Daha, dan Janggala alias
Kahuripan atau Jiwana. Keduanya oleh Raden Wijaya dijadikan sebagai
daerah bawahan yang paling utama. Daha di barat, Kahuripan di timur,
sedangkan Majapahit sebagai pusat. Pararaton mencatat
beberapa nama yang pernah menjabat sebagai Bhatara i Kahuripan,
atau disingkat Bhre Kahuripan. Yang pertama
ialah Tribhuwana Tunggadewi putri Raden Wijaya. Setelah tahun
1319, pemerintahannya dibantu oleh Gajah Mada yang diangkat sebagai
patih Kahuripan, karena berjasa menumpas pemberontakan Ra Kuti.
Hayam
Wuruk sewaktu menjabat yuwaraja juga berkedudukan sebagai raja
Kahuripan bergelar Jiwanarajyapratistha. Setelah naik
takhta Majapahit, gelar Bhre Kahuripan kembali dijabat ibunya,
yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Sepeninggal Tribhuwana
Tunggadewi yang menjabat Bhre Kahuripan adalah cucunya, yang bernama
Surawardhani. Lalu digantikan putranya, yaitu Ratnapangkaja. Sepeninggal Ratnapangkaja,
gelar Bhre Kahuripan disandang oleh keponakan istrinya (Suhita) yang
bernama Rajasawardhana. Ketika Rajasawardhana menjadi
raja Majapahit, gelar Bhre Kahuripan diwarisi putra sulungnya, yang
bernama Samarawijaya.
13. Kerajaan Kanjuruhan
Kerajaan
Kanjuruhan, kerajaan Hindu di Jawa Timur. Berdiri sejak abad ke-8 M,
diperkirakan sezaman dengan kerajaan Tarumanegara dan kerajaan Kalingga. Wilayah
kekuasaan kerajaan Kanjuruhan berada di sekitar Kota Malang, tepatnya di daerah
Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede. Keberadaan kerajaan Kanjuruhan
ditunjukkan oleh Prasasti Dinoyo, yang dibuat pada 760 M. Prasasti berupa
lempengan batu berukir tersebut berisi beberapa baris tulisan beraksara Jawa
Kuno dan bahasa Sansekerta.
a. Kehidupan Politik
Pendiri dari Kerajaan Kanjuruhan adalah Raja Gajayana,
putra Dewasimha. Raja ini mempunyai putri bernama Uttejana.
b.
Kehidupan Sosial
dan Budaya
Peninggalan budaya dari Kerajaan Kajuruhan adalah
Prasasti Dinoyo yang ditulis dengan huruf Jawa Kuno dan menggunakan bahasa
Sanskerta. Dalam prasasti disebutkan sebuah bangunan sucin. Bangunan suci yang
disebutkan dalam prasasti tersebut sekarang dikenal sebagai candi Badut.
c.
Kehidupan
Ekonomi
Tidak banyak peninggalan dari Kerajaan Kanjuruhan,
namun diprediksi mata pencaharian mayoritas masyarakatnya adalah di bidang
pertanian.
d.
Penyebab
Runtuhnya
Tidak banyak peningalan dari kerajaan Kajuruhan,
sehingga sangat sulit menentukan penyebab dari keruntuhannya. Tetapi, jika
diprediksi, bisa saja kerajaan tersebut runtuh karena ditaklukan oleh Kerajaan
lain.
14. Kerajaan Wijayapura
Kerajaan
Wijayapura adalah kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 di Kalimantan Barat
dan terletak di sekitar Sungai Rejang. Namun, kerajaan ini diduga
berdiri pada sekitar abad ke-6 atau 7 di Kalimantan Barat. Hal ini ditunjukkan
oleh adanya penemuan benda-benda kuno bercorah Hindu seperti patung
dan gerabah.
15. Kerajaan Melayu
Kerajaan
Melayu berada di wilayah Pulau Sumatera dan berpusat di tepian Sungai
Batanghari di Jambi, berpindah ke hulu Sungai Batanghari
di Dharmasraya dan berpindah lagi ke Pagaruyung. Kerajaan ini
diperkirakan telah berdiri sejak abad ke-4 Masehi.
Hal ini berdasarkan kisah perjalan I-Tsing, seorang Sami Budha dari Cina yang
menuturkan bahwa pada tahun 685 kerajaan Melayu ini telah takluk dibawah
kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi
(Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas
yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam
mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum akhirnya terintegrasi
dengan Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682. Penggunaan kata Melayu, telah dikenal sekitar
tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya
Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon[4]. Dan kemudian dalam kitab
Hindu Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya
dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi air.
Berita tentang kerajaan Melayu antara lain
diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I
Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì
Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa
Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan)
serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan
Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang) dalam
pelayarannya dari Tiongkok ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya
untuk mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah
Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa. Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut
agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan
dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.
Berita lain mengenai kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang
disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan
ke Tiongkok pada tahun 645 untuk pertama kalinya, tetapi setelah munculnya
Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Melayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke
Tiongkok.
a.
Lokasi Pusat Kerajaan
Dari uraian I-tsing jelas
sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan
Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua
ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari,
sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti
bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah
rajaKertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu.
Candi
Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi.
Prof. Slamet Muljana berpendapat,
istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang
dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan
biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju
apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan
dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi
istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi. Dan menurut prasasti
Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030,
menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan
terletak di atas bukit. Lokasi pastinya adalah Muara Tebo. Muljana berpendapat,
"... baik ditinjau dari peninggalan-peninggalan kuno yang berupa piagam
maupun dari pemberitaan piagam Tanyore dan piagam Kedukan Bukit, maka letak
pusat kerajaan Melayu di sekitar Muara Tebo lebih menguntungkan daripada di
kota Jambi." (hal. 147).
Dari keterangan Abu
Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi Persia, yang pernah
mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya
dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang
menyatakan bahwa ia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis
khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni
pulau Sumatra.
b. Munculnya
Wangsa Mauli
Kekalahan
kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja Chola
dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa
Sailendra atas pulau Sumatra dan Semenanjung
Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah
dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut
dengan nama Wangsa Mauli. Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama
raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand.
Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana
Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati
Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai
emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten
Sri Nano.
Prasasti kedua berselang
lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286.
Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari
Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa. Arca tersebut kemudian
diletakkan di Dharmasraya. Dharmasraya dalam Pararaton disebut
dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai
raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari
Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai
raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas. Yang
menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah
mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang).
Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali
sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut
dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Tiongkok disebutkan bahwa
pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai
bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang)
yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang
ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman berasal
dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian,
kebangkitan kembali kerajaan Melayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak
diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah
Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum
ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
c.
Daerah Kekuasaan
Dharmasraya
Dalam naskah
berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225 disebutkan bahwa
negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi,
Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga,
selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan
Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating,
pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara
sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe,
pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung
malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri,
daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin
fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah
kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatra
sampai Sunda.
d. San-fo-tsi
Dalam
naskah-naskah kronik Tiongkok, istilah San-fo-tsi digunakan
untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum. Pada zaman Dinasti
Song sekitar tahun 990–an, istilah ini identik dengan Sriwijaya.
Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah
San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Tiongkok. Kronik
Tiongkok mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih
mengirimkan utusan masing-masing dari Kien-pi (Jambi)
dan Pa-lin-fong (Palembang). Dalam berita Tiongkok
yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan
San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Tiongkok yang
saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut
menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri
raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil
perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan pengiriman
utusan selanjutnya tahun 1088.
Sebaliknya, dari daftar
daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun
nama lain yang mirip dengan Dharmasraya. Dengan demikian, istilah San-fo-tsi
pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan
Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan
daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan
Sriwijaya sudah berakhir. Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna
Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Tiongkok untuk menyebut Pulau
Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah
Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Dinasti
Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan
istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu,
catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama
sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan
Palembang.
e. Ekspedisi
Pamalayu
Naskah Pararaton dan Kidung
Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun
1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa
ke Sumatra yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin
oleh Kebo Anabrang. Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan
tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari
dengan Dharmasraya.
Pada tahun 1293 tim
ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara
Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan antara
Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang
telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari.
Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu,
Dara Jingga dinikahi oleh seorang “dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka
yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa.
Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga
sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah
menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan
ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah
peralihan kekuasaan di Singhasari.
Sebagian sumber
mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli
Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan
Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti
Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan
Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan
jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton
adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan
Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman. Adityawarman sendiri nantinya
menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini untuk menunjukkan kalau ia adalah keturunan
Srimat Tribhuwanaraja.
Kakawin Nagarakretagama yang
ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian
banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra. Namun
interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan
Majapahit yang harus menghaturkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan
sampai hari ini. Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau
raja bawahan Majapahit untuk menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau
Sumatra. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung
Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati
Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali
pada tahun 1343. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan
Adityawarman.
Setelah membantu
Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1343 Adityawarman kembali
ke Swarnnabhumi dan pada tahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai
pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di
Dharmasraya dan selanjutnya memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso,
(daerah Minangkabau), dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman
Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa. Dengan melihat gelar yang
disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah
dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya
kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri
Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta
menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja
Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan
seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.
Dari catatan Dinasti
Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatra) terdapat tiga orang
raja. Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias
Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang),
dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya
pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh
Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Tiongkok yaitu pada tahun 1325 dan
1332, dan tentu dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih dirujuk
kepada Adityawarman, yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali
pada rentang tahun 1371 sampai 1377. Dan kemudian dari berita ini
dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci
yang diperkirakan pada zaman Adityawarman, dimana pada naskah tersebut ada
menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang
dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar
Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang[21].
Berikut ini daftar nama raja Melayu:
Tarikh |
Nama
Raja atau Gelar |
Ibu
kota |
Prasasti,
catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa |
671 |
Minanga |
Berita
China, catatan perjalanan I-tsing (634-713). Dan Prasasti
Kedukan Bukit tahun 682. |
|
682-1156 |
Belum
ada berita |
||
1157-1182 |
Belum
ada berita |
||
1183 |
Srimat
Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa |
Dharmasraya |
Prasasti
Grahi tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati
Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1
bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. |
1184-1285 |
Belum
ada berita |
||
1286 |
Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa |
Dharmasraya |
Prasasti
Padang Roco tahun 1286 di Siguntur (Kabupaten
Dharmasraya sekarang), pengiriman Arca Amonghapasa sebagai hadiah
Raja Singhasari kepada Raja Malayu. |
1316 |
Akarendrawarman |
Dharmasraya
atau Suruaso |
Prasasti
Suruaso (Kab. Tanah Datar sekarang). |
1347 |
Srimat
Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa |
Suruaso
atau Pagaruyung |
Arca
Amoghapasa,tahun 1347 di (Kab. Dharmasraya sekarang), Pindah ke Suruaso, Prasasti Suruaso (Kabupaten Tanah
Datar sekarang), Pengiriman utusan ke Tiongkok sebanyak 6 kali
dalam rentang waktu 1371 sampai 1377 pada masa Dinasti Ming. |
1375 |
Ananggawarman |
Pagaruyung |
Prasasti
Batusangkar (Kab. Tanah Datar sekarang). |
16. Kerajaan Janggala
Kerajaan
Janggala berdiri pada 1042, setelah Airlangga dari Kerajaan Kahuripan membagi
wilayah kekuasaannya, menjadi Kerajaan Janggala dan Kerajaan Kadiri, untuk
diberikan kepada kedua putranya yang saling berselisih. Kerajaan Jenggala
beribu kota di Kahirapan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan, sedangkan
Kerajaan Kadiri beribukota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya.
Sejak
awal pemisahan dua kerajaan ini, hubungan antara Janggala dan Kadiri tidak
pernah akur dan selalu terlibat dalam konflik. Nama
Janggala diperkirakan berasal kata "Hujung Galuh", atau disebut
"Jung-ya-lu" berdasarkan catatan China. Hujung Galuh terletak di
daerah muara sungai Brantas yang diperkirakan kini menjadi bagian
kota Surabaya. Kota ini merupakan pelabuhan penting sejak zaman kerajaan
Kahuripan, Janggala, Kediri, Singhasari, hingga Majapahit. Pada masa kerajaan
Singhasari dan Majapahit pelabuhan ini kembali disebut sebagai Hujung Galuh.
a. Pembagian Kerajaan
oleh Airlangga
Pusat pemerintahan
Janggala terletak di Kahuripan. Menurut prasasti Terep, kota Kahuripan didirikan oleh Airlangga tahun 1032, karena ibu
kota yang lama, yaitu Watan Mas direbut seorang musuh wanita. Berdasarkan prasasti
Pamwatan dan Serat Calon Arang, pada tahun 1042 pusat
pemerintahan Airlangga sudah pindah ke Daha. Tidak diketahui
dengan pasti mengapa Airlangga meninggalkan Kahuripan.
Pada tahun 1042 itu
pula, Airlangga turun takhta. Putri mahkotanya yang
bernama Sanggramawijaya Tunggadewi lebih dulu memilih kehidupan
sebagai pertapa, sehingga timbul perebutan kekuasaan antara kedua
putra Airlangga yang lain, yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji
Garasakan. Akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua
wilayah kerajaannya. Sri Samarawijaya mendapatkan Kerajaan
Kadiri di sebelah barat yang berpusat di kota baru, yaitu Daha.
Sedangkan Mapanji Garasakan mendapatkan Kerajaan Janggala di sebelah
timur yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
b. Raja-Raja Janggala
Pembagian kerajaan sepeninggal Airlangga terkesan sia-sia, karena
antara kedua putranya tetap saja terlibat perang saudara untuk saling
menguasai. Pada awal berdirinya, Kerajaan Janggala lebih banyak meninggalkan bukti
sejarah daripada Kerajaan Kadiri. Beberapa orang raja yang diketahui
memerintah Janggala antara lain:
1.
Mapanji Garasakan, berdasarkan prasasti Turun Hyang II (1044),
prasasti Kambang Putih, dan prasasti Malenga (1052).
2.
Alanjung Ahyes, berdasarkan prasasti Banjaran (1052).
3.
Samarotsaha, berdasarkan prasasti Sumengka (1059).
c. Akhir Kerajaan Janggala
Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui
namanya hanya tiga orang saja, namun kerajaan ini mampu bertahan dalam
persaingan sampai kurang lebih 90 tahun lamanya. Menurut prasasti Ngantang
(1135), Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri
Jayabhaya raja Kadiri, dengan semboyannya yang
terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang. Sejak
saat itu Janggala menjadi bawahan Kadiri.
Menurut Kakawin Smaradahana, raja Kadiri yang
bernama Sri Kameswara, yang memerintah sekitar tahun 1182-1194,
memiliki permaisuri seorang putri Janggala bernama Kirana.
d. Janggala sebagai Bawahan Majapahit
Setelah Kadiri ditaklukkan Singhasari tahun
1222, dan selanjutnya oleh Majapahit tahun
1293, secara otomatis Janggala pun ikut dikuasai. Pada zaman Majapahit nama Kahuripan lebih
populer daripada Janggala, sebagaimana nama Daha lebih
populer daripada Kadiri. Meskipun demikian, pada prasasti Trailokyapuri (1486), Girindrawardhana raja Majapahit saat
itu menyebut dirinya sebagai penguasa Wilwatikta-Janggala-Kadiri.
e.
Bhre Kahuripan
1.
Tribhuwana 1309-1328, 1350-1375 Pararaton.27:18,19;
29:32 Nagarakertagama.2:2
2.
Hayam Wuruk 1334-1350 Prasasti Tribhuwana
3.
Wikramawardhana 1375-1389 Suma Oriental
4.
Surawardhani 1389-1400 Pararaton.29:23,26; 30:37
5.
Ratnapangkaja 1400-1446 Pararaton .30:5,6; 31:35
6.
Rajasawardhana 1447-1451 Pararaton.32:11; Prasasti
Waringin Pitu
7.
Samarawijaya 1451-1478 Pararaton .32:23
f. Janggala dalam Karya Sastra
Adanya Kerajaan Janggala juga muncul
dalam Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365.
Kemudian muncul pula dalam naskah-naskah sastra yang berkembang pada zaman
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, misalnya Babad
Tanah Jawi dan Serat Pranitiradya. Dalam naskah-naskah
tersebut, raja pertama Janggala bernama Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Airlangga. Lembu
Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang
bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu
Suryawisesa.
Panji Asmarabangun inilah yang sangat
terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh Candrakirana
dari Kediri. Dalam pementasan Ketoprak, tokoh
Panji setelah menjadi raja Janggala juga sering disebut Sri
Kameswara. Hal ini jelas berlawanan dengan berita dalam Smaradahana yang
menyebut Sri Kameswara adalah raja Kadiri, dan
Kirana adalah putri Janggala. Selanjutnya, Panji
Asmarabangun digantikan putranya yang bernama Kuda Laleyan, bergelar Prabu
Surya Amiluhur. Baru dua tahun bertakhta, Kerajaan Janggala tenggelam oleh
bencana banjir. Surya Amiluhur terpaksa pindah ke barat mendirikan Kerajaan
Pajajaran.
Tokoh Surya Amiluhur inilah yang kemudian
menurunkan Jaka Sesuruh, pendiri Majapahit versi
dongeng. Itulah sedikit kisah tentang Kerajaan Janggala versi babad dan serat
yang kebenarannya sulit dibuktikan dengan fakta sejarah.
17. Kerajaan Bali
Kerajaan Bali ini
berdiri pada abad 9 hingga abad ke 14 masehi . Ketika kerajaan Majapahit
runtuh, banyak rakyat Majapahit yang melarikan diri dan menetap di Bali. Sampai
sekarang ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat Bali dianggap
sebagai pewaris tradisi Majapahit. Penguasa pertama Kerajaan Bali adalah Sri
Kesari Warma dewa. Kerajaan Bali merupakan istilah untuk serangkaian kerajaan Hindu-Budha yang pernah memerintah di Bali, di Kepulauan Sunda Kecil, Indonesia. Adapun kerajaan-kerajaan
tersebut terbagi dalam beberapa masa sesuai dinasti yang memerintah saat itu.
Dengan sejarah kerajaan asli Bali yang terbentang dari awal abad ke-10 hingga
awal abad ke-20, kerajaan Bali menunjukkan budaya istana Bali yang canggih di
mana unsur-unsur roh dan penghormatan leluhur dikombinasikan dengan pengaruh
Hindu, yang diadopsi dari India melalui perantara Jawa kuno, berkembang,
memperkaya, dan membentuk budaya Bali.
Karena kedekatan dan hubungan budaya yang erat dengan pulau Jawa yang berdekatan selama
periode Hindu-Budha Indonesia, sejarah Kerajaan Bali sering terjalin dan sangat
dipengaruhi oleh kerajaan di Jawa, dari kerajaan Medang pada abad ke-9 sampai
ke kerajaan Majapahit pada abad ke-13 hingga 15. Budaya, bahasa, seni, dan
arsitektur di pulau Bali dipengaruhi oleh Jawa. Pengaruh dan kehadiran orang
Jawa semakin kuat dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-15.
Setelah kekaisaran jatuh di bawah Kesultanan Muslim Demak, sejumlah abdi dalem
Hindu, bangsawan, pendeta, dan pengrajin, menemukan tempat perlindungan di
pulau Bali. Akibatnya, Bali menjadi apa yang digambarkan oleh sejarawan Ramesh Chandra Majumdar sebagai
benteng terakhir budaya dan peradaban Indo-Jawa. Kerajaan Bali pada abad-abad
berikutnya memperluas pengaruhnya ke pulau-pulau tetangga. Kerajaan Gelgel Bali
misalnya memperluas pengaruh mereka ke wilayah Blambangan di ujung timur Jawa,
pulau tetangga Lombok, hingga bagian barat pulau Sumbawa, sementara Karangasem
mendirikan kekuasaan mereka di Lombok Barat pada periode selanjutnya.
Sejak pertengahan abad ke-19, negara kolonial Hindia Belanda mulai terlibat di
Bali, ketika mereka meluncurkan kampanye mereka melawan kerajaan kecil Bali
satu per satu. Pada awal abad ke-20, Belanda telah menaklukkan Bali karena
kerajaan-kerajaan kecil ini jatuh di bawah kendali mereka, baik dengan
kekerasan atau dengan pertempuran, diikuti dengan ritual massal bunuh diri, atau
menyerah dengan damai kepada Belanda. Dengan kata lain, meskipun beberapa
penerus kerajaan Bali masih hidup, peristiwa-peristiwa ini mengakhiri masa
kerajaan independen asli Bali, karena pemerintah daerah berubah menjadi
pemerintahan kolonial Belanda, dan kemudian pemerintah Bali di dalam Republik Indonesia.
a.
Sumber Sejarah
Sumber yang cukup penting
tentang Kerajaan Bali adalah prasasti yang berangka 881 M. Bahasa yang dipakai
adalah Bahasa Bali Kuno. Ada juga prasasti yang tertulis dalam bahasa
Sanskerta. Pada abad ke-11, sudah ada berita
dari Tiongkok yang
menjelaskan tentang tanah Po-Li (Bali). Berita Tiongkok itu menyebutkan bahwa
adat istiadat penduduk di tanah Po-Li hampir sama dengan
masyarakat Ho-ling(Kalingga). Penduduknya menulis di atas daun lontar. Bila orang meninggal,
mulutnya di masukan emas kemudian dibakar. Adat semacam ini masih berlangsung
di Bali. Adat itu dinamakan Ngaben. Salah satu keluarga terkenal
yang memerintah Bali adalah Wangsa Warmadewa. Hal itu dapat diketahui dari Prasasti Blanjong berangka 914
ditemukan di Desa Blanjong, dekat Sanur, Denpasar, Bali. Tulisannya bertulisan Nagari (India), dan sebagian berbahasa Sanskerta. Diberitakan bahwa raja yang memerintah adalah Raja Khesari
Warmadewa. Pada tahun 915, Raja Khesari Warmadewa digantikan oleh Ugrasena.
b. Kerajaan Bali Dwipa
(kerajaan awal)
Stupika yang berisi
tablet nazar Buddha, Bali abad ke-8. Stupa berbentuk lonceng mirip dengan seni
Budha Jawa Tengah.
Prasasti Blanjong di Sanur
(914), salah satu prasasti paling awal di Bali.
Bali telah dihuni oleh
manusia sejak zaman Paleolitik (1 SM ke 200.000 SM), dibuktikan oleh penemuan alat kuno
seperti kapak tangan di desa Sembiran dan desa Trunyan di Bali. Diikuti
oleh periode Mesolitik (200.000-3.000
SM); nenek moyang penduduk Bali saat ini mencapai pulau itu sekitar 3000 hingga
600 SM selama periode Neolitikum, ditandai dengan teknologi penanaman padi dan berbicara bahasa Austronesia. Periode Zaman Perunggu mengikuti, dari
sekitar 600 SM hingga 800 M.
Periode sejarah di Bali
dimulai sekitar abad ke-8 M, ditandai dengan ditemukannya prasasti nazar
Buddhis tertulis yang terbuat dari tanah lempung. Tablet nazar Buddha, yang ditemukan
di patung-patung stupa tanah liat kecil yang disebut "stupika", adalah prasasti
tertulis pertama yang diketahui di Bali dan berasal dari sekitar abad ke-8 M. Stupika
lainnya semacam itu telah ditemukan di Kabupaten Gianyar, di desa Pejeng, Tatiapi, dan Blahbatuh. Loka-lava berbentuk lonceng
mirip dengan gaya stupa abad ke-8 seni Buddha Jawa Tengah yang ditemukan
di Borobudur dan candi-candi Budha
lainnya yang berasal dari periode itu, yang menunjukkan hubungan Sailendra dengan para peziarah
Budha atau penduduk sejarah awal Bali.
Pada awal abad
ke-10, Sri Kesari Warmadewa menciptakan prasasti pilar Belanjong yang
ditemukan di dekat jalur selatan pantai Sanur. Itu adalah tulisan tertua yang
dibuat oleh penguasa yang ditemukan di Bali. Pilar tersebut bertanggal sesuai
dengan kalender Saka India,
pada 836 saka (914 M). Menurut prasasti itu, Sri Kesari adalah seorang raja
Buddha dari Dinasti Syailendra yang memimpin ekspedisi militer, untuk mendirikan
pemerintahan Buddha Mahayana di Bali. Dua prasasti lain oleh Kesari dikenal di
pedalaman Bali, yang menunjukkan konflik di pedalaman pegunungan di pulau itu.
Sri Kesari dianggap sebagai pendiri dinasti Warmadewa, penguasa Bali yang diketahui paling awal, yang makmur selama
beberapa generasi sebelum ekspansi dari pulau Jawa.
Tampaknya, pusat peradaban
awal Bali pertama kali terletak di daerah Sanur di sebelah timur kota Denpasar
hari ini, dan kemudian pusat politik, agama dan budaya pindah ke pedalaman
utara, berkelompok di sekitar dataran selatan di masa kini di Kabupaten Gianyar; lebih
tepatnya di pusat kerajaan tua di Bedulu, dekat Goa Gajah dan Gianyar. Kuil gua batu dan tempat pemandian Goa Gajah,
dekat Ubud di
Gianyar, dibuat sekitar periode yang sama. Ini menunjukkan kombinasi ikonografi
Buddha dan Hindu Siwa. Beberapa ukiran stupa, stupikas (stupa kecil), dan
gambar Boddhisattva menunjukkan bahwa dinasti Warmadewa adalah pelindung
Buddhisme Mahayana. Namun demikian, agama Hindu juga dipraktikkan di Bali
selama periode ini.
c.
Raja dari Wangsa Warmadewa
Raja dari Wangsa
Warmadewa yang
pernah memerintah Bali salah satunya yang terkenal ialah:
·
Sri Candrabhayasingha Warmadewa membangun
pemandian di Desa
Manukraya. Nama pemandian itu adalah Tirta
Empul yang berarti air timbul. Pemandian itu
dekat dengan Istana Tampaksiring.
Ukiran
batu di candi kuil Gunung Kawi menunjukkan gaya candi serupa Jawa selama periode Medang akhir.
Pada paruh kedua abad
ke-10, Bali diperintah oleh raja Udayana
Warmadewa dan
ratunya, Mahendradatta, seorang putri dinasti
Isyana dari Jawa Timur. Mahendradatta adalah putri raja Sri Makutawangsawarddhana, dan saudara perempuan
raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang. Kehadiran ratu Jawa di
istana Bali menunjukkan bahwa kemungkinan Bali telah membentuk aliansi dengan
Jawa Timur, atau Bali adalah bawahan Jawa; pernikahan mereka adalah pengaturan
politik untuk menyegel Bali sebagai bagian dari wilayah Medang, Jawa Timur.
Pasangan kerajaan Bali adalah orang tua dari raja Jawa yang terkenal, Airlangga (991-1049). Adik laki-laki Airlangga,
Marakata dan kemudian Anak Wungçu naik ke tahta orang Bali.
Kuil candi batu dari
Gunung Kawi di Tampaksiring dibuat sekitar periode yang sama. Ini menunjukkan
gaya candi serupa Jawa selama periode Medang akhir. Dinasti Warmadewa terus
memerintah Bali dengan baik sampai abad ke-12 dengan masa pemerintahan Jayasakti (1146–50) dan Jayapangus (1178–81). Kontak dengan kekaisaran
Cina juga penting selama periode ini. Koin Cina yang disebut kepeng banyak digunakan dalam perekonomian
Bali. Pada abad ke-12, raja Jayapangus dari Bali utara diketahui telah menikahi
seorang putri Cina, dan telah diabadikan melalui bentuk seni Barong Landung
sebagai patung raja dan permaisur Cina-nya.
Setelah dinasti
Warmadewa, keturunan mereka dan hubungan mereka dengan pengadilan Jawa, tidak
ada informasi lebih lanjut yang terus menerus ditemukan tentang para penguasa
Bali. Tampaknya Bali telah mengembangkan dinasti asli baru yang cukup
independen dari Jawa. Pada akhir abad ke-13, Bali sekali lagi muncul dalam
sumber Jawa seperti pada 1284, raja Kertanegara meluncurkan
ekspedisi ofensif Pabali melawan penguasa Bali, yang mengintegrasikan Bali ke
dalam wilayah Singhasari. Namun, setelah
pemberontakan Gelang-gelang Jayakatwang pada tahun 1292
yang menyebabkan kematian Kertanegara dan jatuhnya Singhasari, Jawa tidak dapat
menegaskan kekuasaan mereka atas Bali, dan sekali lagi penguasa Bali menikmati
kemerdekaan mereka dari Jawa. Kontak Jawa menyebabkan dampak yang mendalam pada
bahasa Bali yang dipengaruhi oleh bahasa Kawi, gaya Jawa Kuno. Bahasa ini masih
digunakan di Bali meskipun sudah jarang.
Pura Maospahit ("Pura
Majapahit") di Denpasar, Bali, memperagakan arsitektur bata merah khas
Majapahit.
Di Jawa Timur, Majapahit di bawah pemerintahan ratu pangeran Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Perdana Menteri Gajah Mada yang cakap dan ambisius, menyaksikan
perluasan armada Majapahit ke pulau-pulau tetangga di kepulauan Indonesia
termasuk Bali yang berdekatan. Menurut naskah Babad Arya Tabanan, pada tahun
1342 pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada dibantu oleh
jendralnya Arya
Damar,
bupati Palembang, mendarat di Bali. Setelah tujuh bulan pertempuran, pasukan
Majapahit mengalahkan raja Bali di Bedulu (Bedahulu) pada tahun 1343. Setelah
penaklukan Bali, Majapahit mendistribusikan otoritas pemerintahan Bali di
antara saudara-saudara muda Arya Damar; Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong dan Arya Belog. Arya Kenceng
memimpin saudara-saudaranya untuk memerintah Bali di bawah bendera Majapahit,
ia menjadi leluhur raja-raja Bali dari rumah-rumah kerajaan Tabanan dan Badung.
Canto 14 Nagarakretagama, disusun pada masa
pemerintahan Hayam
Wuruk pada
tahun 1365, menyebutkan beberapa tempat di Bali; Bedahulu dan Lwa Gajah (diidentifikasikan
sebagai Goa Gajah) sebagai tempat di
bawah kekuasaan Majapahit. Ibu kota Majapahit di Bali didirikan di Samprangan dan kemudian Gelgel. Menyusul kematian Hayam Wuruk pada tahun
1389, Majapahit memasuki periode penurunan yang stabil dengan konflik atas
suksesi, di antaranya adalah perang
Paregreg (1405
hingga 1406).
Pada tahun 1468,
Pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Raja Singhawikramawardhana dan
menguasai Trowulan. Raja yang kalah
memindahkan ibu kota lebih jauh ke pedalaman ke Daha (bekas ibu kota Kadiri), secara efektif membagi Majapahit
menjadi dua pusat kekuasaan; Trowulan dan Daha. Singhawikramawardhana
digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474, yang memerintah dari Daha.
Untuk menjaga pengaruh Majapahit dan kepentingan ekonomi, Kertabhumi
menganugerahi hak dagang pedagang Muslim di pantai utara Jawa, sebuah tindakan
yang mengarah pada kesultanan
Demak dalam
beberapa dekade berikutnya. Kebijakan ini meningkatkan ekonomi dan pengaruh
Majapahit, tetapi melemahkan posisi Hindu-Budha sebagai agama utama, karena
Islam mulai menyebar lebih cepat dan bebas di Jawa. Keluhan pengikut
Hindu-Buddha kemudian mendesak Ranawijaya untuk mengalahkan Kertabumi.
Pada 1478, pasukan
Ranawijaya di bawah Jenderal Udara melanggar pertahanan Trowulan dan membunuh
Kertabumi di istananya, Demak mengirim bala bantuan di bawah Sunan Ngudung, yang kemudian mati
dalam pertempuran dan digantikan oleh Sunan Kudus, tetapi mereka datang terlambat untuk menyelamatkan Kertabumi
meskipun mereka berhasil mengusir tentara Ranawijaya. Peristiwa ini disebutkan
dalam prasasti Jiwu dan Petak, di mana Ranawijaya mengklaim bahwa ia telah
mengalahkan Kertabhumi dan menyatukan kembali Majapahit sebagai satu Kerajaan. Ranawijaya
memerintah dari tahun 1474 hingga 1498 dengan nama resmi Girindrawardhana, dengan Udara sebagai
wakilnya. Peristiwa ini menyebabkan perang antara Kesultanan Demak dan Daha,
karena penguasa Demak kala itu, Raden
Patah,
adalah keturunan Kertabhumi.
Pada 1498, wakil bupati
Udara merebut Girindrawardhana dan perang antara Demak dan Daha surut. Tetapi
keseimbangan yang rapuh ini berakhir ketika Udara meminta bantuan ke Portugal
di Malaka dan memimpin Adipati
Yunus dari
Demak untuk menyerang Malaka dan Daha. Teori lain menyatakan bahwa alasan
serangan Demak terhadap Majapahit adalah balas dendam terhadap
Girindrawardhana, yang telah mengalahkan kakek Adipati Yunus, Prabu Bhre Kertabumi (Prabu Brawijaya V). Kekalahan
Daha di bawah Demak menandai berakhirnya era Hindu Majapahit di Jawa. Setelah
jatuhnya kekaisaran, banyak bangsawan Majapahit, pengrajin dan pendeta
berlindung baik di daerah pegunungan pedalaman Jawa Timur, Blambangan di ujung
timur Jawa, atau melintasi selat sempit ke Bali. Para pengungsi mungkin
melarikan diri untuk menghindari pembalasan Demak atas dukungan mereka untuk
Ranawijaya terhadap Kertabhumi.
Kerajaan Majapahit Jawa
mempengaruhi Bali baik secara budaya maupun politik. Seluruh istana Majapahit
melarikan diri ke Bali setelah penaklukan oleh penguasa Muslim pada tahun 1478,
yang mengakibatkan pengalihan seluruh budaya. Bali dipandang sebagai kelanjutan
dari budaya Jawa Hindu dan merupakan sumber utama pengetahuan tentang hal itu
di zaman modern. Para bangsawan dan pendeta Jawa yang masuk mendirikan
istana bergaya Majapahit di Bali. Masuknya menyebabkan beberapa perkembangan
penting. Perkawinan keluarga-keluarga Bali terkemuka bersama dengan keluarga
kerajaan Majapahit mengarah pada dasar garis keturunan kasta atas Bali. Gagasan
Jawa khususnya tradisi Majapahit memengaruhi agama dan seni di pulau ini.
Bahasa Jawa juga memengaruhi bahasa Bali yang dipetuturkan. Arsitektur dan
kuil-kuil Bali modern memiliki banyak kesamaan dengan estetika dan gaya relief
di kuil-kuil Jawa Timur dari zaman keemasan Majapahit. Sejumlah besar naskah
Majapahit, seperti Nagarakretagama, Sutasoma, Pararaton dan Tantu Pagelaran,
disimpan dengan baik di perpustakaan kerajaan Bali dan Lombok, dan memberikan
sekilas dan catatan sejarah berharga tentang Majapahit. Sebagai hasil dari
masuknya unsur Jawa, sejarawan Ramesh Chandra Majumdar menyatakan bahwa Bali
"segera menjadi benteng terakhir budaya dan peradaban Indo-Jawa.”
Candi pemesuan di
Gelgel, ibu kota kerajaan tua Bali.
Menurut naskah Babad Dalem (disusun pada abad ke-18), penaklukan
Bali oleh kerajaan Jawa Hindu di Majapahit diikuti oleh pemasangan dinasti
pengikut di Samprangan, Kabupaten Gianyar saat
ini, dekat dengan pusat kerajaan lama Bedulu. Perpindahan ini berlangsung pada pertengahan abad ke-14.
Penguasa Samprangan pertama Sri
Aji Kresna Kepakisan menjadi bapak tiga putra. Dari mereka, yang tertua, Dalem Samprangan, berhasil memerintah
hanya ternyata menjadi penguasa yang tidak kompeten. Adik bungsunya, Dalem Ketut, mendirikan kursi kerajaan baru di Gelgel
sementara Samprangan tenggelam dalam ketidakjelasan.
Kontak Eropa pertama
dengan Bali dilakukan pada 1512, ketika sebuah ekspedisi Portugis yang dipimpin
oleh Antonio Abreu dan Francisco Serrão yang berlayar
dari Melaka Portugis dan mencapai
pantai utara Bali. Bali juga dipetakan pada 1512, dalam bagan Francisco
Rodrigues. Di Majapahit, Jawa Timur, jatuhnya Daha ke Kesultanan Demak
pada tahun 1517 telah mendorong perlindungan para bangsawan Hindu, pendeta dan
pengrajin ke Bali. Pada 1585, pemerintah Portugis di Malaka mengirim sebuah
kapal untuk membangun benteng dan pos perdagangan di Bali, tetapi misinya gagal
ketika kapal itu kandas di terumbu semenanjung Bukit.
Pada abad ke-16, Puri
(istana Bali) Gelgel menjadi pemerintahan yang kuat di wilayah tersebut.
Pengganti Dewa Ketut, Dalem
Baturenggong,
memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia menerima seorang resi Brahmana Jawa
bernama Nirartha yang melarikan
diri dari kemunduran Hindu di Jawa. Raja menjadi pelindung Nirartha, yang juga
membawa banyak karya sastra yang luas yang membentuk spiritualisme Hindu Bali.
Gelgel mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Dalem Baturenggong,
ketika Lombok, Sumbawa barat dan Blambangan di Jawa paling timur, disatukan di
bawah kekuasaan Gelgel. Pengaruh Gelgel terhadap Blambangan yang masih Hindu
tampaknya menarik perhatian Sultan Mataram yang bercita-cita menyatukan seluruh
Jawa dan juga untuk menyebarkan agama Islam. Pada 1639, Mataram melancarkan
invasi ke Blambangan. Kerajaan Gelgel segera mendukung Blambangan sebagai
penyangga terhadap ekspansi Mataram Islam. Blambangan menyerah pada tahun 1639,
tetapi dengan cepat mendapatkan kembali kemerdekaannya dan bergabung kembali
dengan Bali segera setelah pasukan Mataram menarik diri. Kesultanan
Mataram sendiri, setelah kematian Sultan
Agung,
tampaknya sibuk dengan masalah internal mereka, dan kehilangan minat untuk
melanjutkan kampanye mereka dan mengejar permusuhan terhadap Blambangan dan
Gelgel.
d.
Periode Sembilan Kerajaan
Peta sembilan kerajaan Bali, sekitar tahun
1900
Setelah tahun 1651,
kerajaan Gelgel mulai terpecah karena konflik internal. Pada tahun 1686, sebuah
kursi kerajaan baru didirikan di Klungkung, empat kilometer utara Gelgel. Para
penguasa Klungkung, yang dikenal dengan sebutan Dewa Agung, tidak mampu mempertahankan kekuasaan atas
Bali. Pulau itu selanjutnya terbagi menjadi sembilan kerajaan kecil; Klungkung, Buleleng, Karangasem, Mengwi, Badung, Tabanan, Gianyar, Bangi dan Jembrana. Kerajaan-kerajaan kecil ini mengembangkan
dinasti mereka sendiri, membangun Puri mereka sendiri (kompleks istana Bali)
dan mendirikan pemerintahan mereka sendiri. Namun demikian, sembilan kerajaan
di Bali ini mengakui kepemimpinan Klungkung, bahwa raja-raja Dewa Agung
Klungkung adalah primus
inter pares
mereka di antara raja-raja Bali, dan pantas menerima tituler terhormat sebagai
raja Bali. Sebagian besar kerajaan ini, saat ini, membentuk basis dan
batas-batas Kabupaten Bali. Pada abad-abad berikutnya, berbagai kerajaan akan
berperang berturut-turut di antara mereka sendiri, meskipun mereka memberi Dewa
Agung status simbolis terpenting di Bali. Hal ini menyebabkan hubungan yang
rumit di antara penguasa Bali, karena ada banyak raja di Bali. Situasi ini
berlangsung hingga kedatangan Belanda pada abad ke-19.
e.
Intervensi asing
Meskipun kontak Eropa
telah dilakukan sejak 1512 dan kemudian pada 1585 oleh armada Portugis, tidak ada kekuatan Eropa yang nyata
dirasakan di Bali karena kerajaan Bali melanjutkan cara hidup mereka
terpelihara sejak zaman Hindu Majapahit. Pada 1597, penjelajah Belanda Cornelis de Houtman tiba di Bali dan
bertemu Dalem Gelgel. Ekspedisi Belanda kedua muncul pada 1601, yaitu Jacob van Heemskerck. Pada kesempatan ini,
Dalem Gelgel mengirim surat kepada Pangeran
Maurits,
terjemahan yang dikirim oleh Cornells
van Eemskerck.
Surat itu memberikan izin kepada Belanda untuk berdagang di Bali serta
menyatakan permintaan Bali untuk berdagang secara bebas dengan Belanda. Surat
persahabatan dan perjanjian dagang diplomatik ini diterjemahkan secara salah
sebagai pengakuan orang Bali atas kekuasaan Belanda dan selanjutnya digunakan
oleh Belanda untuk mengajukan klaim mereka ke pulau itu. Meskipun VOC - yang
berpusat di Batavia (sekarang Jakarta)
- sangat aktif di Kepulauan Maluku, Jawa, dan Sumatra, VOC tidak tertarik pada
Bali, karena VOC lebih tertarik pada perdagangan rempah-rempah, sebuah produk
langka di Bali yang terutama kerajaan pertanian padi. Pembukaan pos perdagangan
dicoba pada tahun 1620 tetapi gagal karena permusuhan lokal. VOC meninggalkan
perdagangan Bali ke pedagang swasta, terutama Cina, Arab, Bugis dan
kadang-kadang Belanda, yang terutama berurusan dengan perdagangan opium dan
budak.
Dewa Agung dari Klungkung pada tahun 1908.
Namun, ketidakpedulian
Belanda terhadap Bali berubah total pada abad ke-19, ketika kontrol kolonial
Belanda meluas ke seluruh kepulauan Indonesia dan mereka mulai mengidam-idamkan
pulau itu. Belanda menggunakan dalih untuk memberantas penyelundupan opium,
lari senjata, tradisi tawan karang Bali (penjarahan kapal
karam), dan perbudakan untuk memaksakan kontrol mereka pada kerajaan Bali.
Tentara Hindia Belanda menginvasi Bali utara pada tahun 1846, 1848, dan akhirnya pada
tahun 1849 Belanda mampu
mengendalikan kerajaan Bali utara, Buleleng dan Jembrana.
Pada tahun 1894, Belanda
menggunakan pemberontakan Sasak melawan penguasa
Bali Lombok Barat, sebagai alasan untuk mengganggu dan menaklukkan Lombok.
Belanda mendukung pemberontakan Sasak, dan meluncurkan ekspedisi militer terhadap
pengadilan Bali di Mataram, Lombok. Pada akhir November 1894, Belanda telah
memusnahkan posisi orang Bali, dengan ribuan orang tewas, dan orang Bali
menyerah atau melakukan ritual bunuh diri, puputan. Lombok dan Karangasem menjadi
bagian dari Hindia Belanda. Segera sesudahnya kerajaan Bangli dan Gianyar
juga menerima kekuasaan Belanda, tetapi Bali selatan terus menolak.
Pada tahun 1906 Belanda
melancarkan ekspedisi
militer melawan
kerajaan Bali selatan, Badung dan Tabanan, dan melemahkan kerajaan Klungkung, lagi-lagi dengan dalih tradisi tawan
karang Bali (penjarahan bangkai kapal). Akhirnya pada tahun 1908,
Belanda meluncurkan invasi terhadap kerajaan
Klungkung, dengan dalih mengamankan monopoli candu mereka. Tindakan ini
mengakhiri penaklukan Belanda atas Bali, dan pada saat itu telah menjadikan
Bali protektorat Belanda. Meskipun
beberapa anggota kerajaan Bali masih bertahan, Belanda telah sepenuhnya
membongkar institusi kerajaan Bali, menghancurkan kekuasaan dan otoritas
raja-raja Bali dan dengan demikian mengakhiri berabad-abad pemerintahan
kerajaan Bali. Selama periode Hindia Belanda, ibu kota kolonial Bali dan
Kepulauan Sunda Kecil terletak di Singaraja di pantai utara.
Comments
Post a Comment