Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia Pada Masa Hindu-Budha (SEJARAH PEMINATAN KLS XI IPS)

A.   Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia Pada Masa Hindu-Budha

(Sumber: www.wikipedia.com)

Kerajaan maritim merujuk kepada kerajaan-kerajaan yang ekonominya bergantung pada perdagangan dan pelayaran. Di Indonesia, kerajaan-kerajaan maritim sempat berjaya di masanya. Kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia banyak yang awalnya merupakan pendatang, kemudian mendirikan kerajaan di Indonesia. Tercatat kerajaan maritim Hindu-Budha yang pernah menetap dan menguasai sebagian wilayah Indonesia. Di artikel kali ini, kita akan membahas kerajaan-kerajaan maritim Hindu-Budha tersebut.

1.    Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai berdiri di abad ke-5 SM di dekat Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Tidak banyak peninggalan sejarah yang menceritakan tentang kerajaan ini, kecuali prasasti 7 yupa yang ditemukan di Muara Kaman. Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Prasasti 7 yupa menceritakan tentang raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Kutai, yaitu Kudungga, Aswawarman, dan Mulawarman. Kutai dipercaya sebagai kerajaan Hindu tertua di Indonesia.

Informasi yang ada diperoleh dari Prasasti Yupa dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para brahman atas kedermawanan raja Mulawarman. Dalam agama hindu sapi tidak disembelih seperti kurban yang dilakukan umat islam. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana.

a.    Aswawarman

Aswawarman adalah Anak Raja Kundungga. Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putra, dan salah satunya adalah Mulawarman. Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur. Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.

b.    Mulawarman

Prasasti Kerajaan Kutai

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.

c.    Berakhirnya Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai Martapura berakhir saat rajanya yang bernama Maharaja Dermasatia terbunuh dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kertanegara ke-8, Pangeran Sinum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martapura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kertanegara yang saat itu ibu kota di Kutai Lama. Kutai Kartanegara inilah, pada tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kertanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

 

d.    Nama-Nama Raja Kutai Martapura

Peta Kecamatan Muara Kaman

Hanya ada lima nama raja yang tercatat dalam sumber sejarah, yakni 3 orang di Prasasti Yupa beraksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu. Adapun informasi lain yang menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang autentik, melainkan dari ucapan meranyau seorang dukun dalam upacara adat belian.

1.    Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)

2.    Maharaja Asmawarman (anak Kundungga)

3.    Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman)

4.    Maharaja Indera Mulia (abad ke-14)

5.    Maharaja Dermasatia (penutup dinasti awal abad ke-17)

Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.

e.    Kehidupan Ekonomi

Kehidupan ekonomi di kutai disebutkan dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman telah mengadakan upacara korban emas dan menghadiahkan 20.000 ekor sapi untuk golongan Brahmana. Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi tersebut didatangkan dari tempat lain, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah melakukan kegiatan dagang.

f.     Kehidupan Budaya

Dalam kehidupan budaya Kerajaan Kutai sudah maju. Hal ini dibuktikan melalui upacara penghinduan yang disebut Vratyastoma. Pada masa Mulawarman upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta Brahmana dari orang Indonesia asli. Adanya kaum Brahmana asli orang Indonesia membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, terutama penguasaan terhadap bahasa Sanskerta.

2.    Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tarumanegara didirikan pada abad ke-5 SM dan terletak di Jawa Barat. Wilayah kekuasaannya meliputi Banten hingga Cirebon. Beberapa sumber sejarah yang membahas kerajaan ini adalah buku karya Claudius Ptolomeus, berita dari Gunawarman (pendeta dari Khasmir), dan berbagai macam prasasti, seperti Prasasti Ciaruten dan Prasasti Pasir Kaleangkak.

Sumber ekonomi kerajaan ini adalah pertanian dan peternakan. Masyarakat Tarumanegara juga mulai mengenal dan membudayakan teknik menulis pada batu atau prasasti jika dilihat dari peninggalan-peninggalannya.

a.    Kehidupan Politik

Raja Purnawarman adalah raja besar yang telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyatnya. Hal ini dibuktikan dari prasasti Tugu yang menyatakan Raja Purnawarman telah memerintah untuk menggali sebuah kali. Penggalian sebuah kali ini sangat besar artinya, karena pembuatan kali ini merupakan pembuatan saluran irigasi untuk memperlancar pengairan sawah - sawah pertanian rakyat. Adapun untuk peninggalan - peninggalan prasasti di Kerajaan Tarumanegara antara lain adalah :

1)    Prasasti Ciaruteun

Prasasti Ciaruteun ditemukan di tepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor. Prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba - laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman. Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu: Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang sekaligus penghormatan sebagai dewa.

2)    Prasasti Jambu

Prasasti Jambu ditemukan di bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan raja purnawarman.

3)    Prasasti Kebon Kopi

Prasasti Kebon kopi ditemukan di kampung Muara Hilir kecamatan Cibungbulang Bogor. Prasasti ini adalah lukisan tapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan dewa Wisnu.

4)    Prasasti Muara Cianten

Prasasti Muara Cianten, ditemukan di Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan terdapat lukisan telapak kaki.

5)    Prasasti Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Leuwiliang, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.

6)    Prasasti Cindanghiyang

Prasasti Cindanghiyang atau prasasti Lebak, ditemukan di kampung lebak di tepi sungai Cindanghiang, kecamatan Muncul kabupaten pandeglang Banten. Prassasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian Raja Purnawarman.

7)    Prasasti Tugu

Prasasti Tugu di temukan di daerah Tugu, kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut. Hal - hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati.

Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Secara Etimologi sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi. Prasasti Tugu juga menyebutkan penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya disebutkan bulan Phalguna dan Caitra yang diduga sama dengan bulan Februari dan April. Prasasti Tugu menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan 1000 ekor sapi yang dihadiahkan raja.

b.    Kehidupan Sosial

Kehidupan sosial kerajaan Tarumanegara sudah teratur dan rapi, hal ini terlihat dari upaya Raja Purnawarman yang terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Raja Purnawarman juga sangat memperhatikan kedudukan Kaum Brahmana yang dianggap penting dalam melaksanakan setiap upacara sebagai tanda penghormatan kepada para dewa.

c.    Kehidupan Ekonomi

Prasasti tugu menyatakan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk membuat sebuah terusan sepanjang 6122 tombak. Pembangunan terusan ini mempunyai arti ekonomis yang besar bagi masyarakat karena dapat dipergunakan sebagai sarana lalu - lintas pelayaran antardaerah di kerajaan Tarumanegara dengan dunia luar. Akibatnya, kehidupan perekonomian masyarakat Kerajaan Tarumanegara sudah berjalan teratur.

d.    Kehidupan Budaya

Sebagai bukti kebesaran Kerajaan Tarumanegara, dapat diketahui bahwa tingkat kebudayaan masyarakat pada saat itu sudah tinggi. Selain sebagai peninggalan budaya, keberadaan prasasti menunjukkan telah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di Kerajaan Tarumanegara.

e.    Masa Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara

Masa keruntuhan kerajaan Tarumanegara dialami setelah kerajaan ini dipimpin oleh raja generasi ke 13, Raja Tarusbawa namanya. Keruntuhan kerajaan Hindu pertama  di Pulau Jawa ini dilatarbelakangi oleh kekosongan kepemimpinan karena Raja Tarusbawa lebih menginginkan untuk memimpin kerajaan kecilnya di hilir sungai Gomati. Selain itu, gempuran beberapa kerajaan lain di nusantara pada masa itu, terutama kerajaan Majapahit juga memegang andil penting dalam keruntuhan Kerajaan Tarumanegara itu.

3.    Kerajaan Mataram Kuno

Mataram Kuno berdiri pada abad ke-8 SM dan berlokasi di Jawa Tengah. Kerajaan Mataram diperkirakan berdiri selama 196 tahun dan memiliki 17 orang Raja. Raja memiliki gelar khusus seperti narapati yang berarti manusia yang memimpinsri maharaja yang berasal dari bahasa Sanskertarakai dan abhiseka yang semuanya berasal dari India. Raja pertama Mataram adalah Ratu Sanjaya. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan yang memiliki sumber sejarah terlengkap. Mereka meninggalkan banyak prasasti, yaitu Prasasti Mantyasih, Prasasti Kedu, Prasasti Kalasan, Prasasti Kalitung, Prasasti Kelurak, Prasasti Dinoyo, dan Prasasti Canggal.

Dari sisi politik, Kerajaan Mataram Kuno dipimpin oleh dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Pada masa pemerintahan Sanjaya, Kerajaan Mataram Kuno sedang sibuk melakukan perang dengan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Menurut Prasasti Canggal, Raja Sanjaya adalah pendiri Mataram Kuno. Ia pun membahas tentang Lingga, yang merupakan lambang dari Dewa Siwa. Sehingga, agama yang dianut pada masa itu adalah Hindu Siwa. Sedangkan dalam Prasasti Balitung, diceritakan nama-nama Raja yang memerintah saat masa Kerajaan Dinasti Sanjaya.

Setelah Raja Sanjaya meninggal, pemerintahan Rakai Pikatan naik tahta. Rakai Pikatan ingin menguasai seluruh wilayah Jawa Tengah, namun terhalang karena adanya Kerajaan Syailendra yang dipimpin oleh Balaputradewa. Untuk menyatukan kedua kerajaan ini, Rakai Pikatan meminang putri Pramodhawardani. Namun, Pramodhawardani tetap menyerahkan kekuasaannya kepada Balaputradewa. Sehingga memicu perang saudara antara dua kerajaan tersebut.

Setelah Balaputradewa dapat dikalahkan, ia lari ke Sriwijaya. Kerajaan ini tergolong ke dalam kerajaan agraris yang rakyatnya bermatapencaharian sebagai petani. Tapi karena Mataram Kuno cenderung tertutup, mereka mengalami sedikit kesulitan dalam hal pengembangan ekonomi.

Berdasarkan peninggalan yang berupa Istana Ratu Boko, kerajaan Syailendra terletak di daerah pegunungan. Dalam Prasasti Ratu Boko 856 M diceritakan tentang kekalahan Balaputradewa dalam perang saudara. Setelah itu, pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Rakai Panangkaran. Dalam Prasasti Kalasan, Rakai Panagkaran diminta oleh Raja Wisnu untuk mendirikan Candi Kalasan (Candi Buddha). Selama masa pemerintahan Raja Indra, ekspansi politik dijalankan untuk memperluas daerah hingga ke Selat Malaka. Kekuasaan kemudian diturunkan kepada Samaratungga. Pada masa pemerintahannya, dibangunlah Candi Borobudur. Nama Borobudur diperkirakan berasal dari kata Bhumi Sambhara yang artinya gunung dan budhara berarti raja.

Kerajaan Mataram Kuno menghasilkan produk-produk kebudayaan yang hingga saat ini masih dapat kita nikmati. Peninggalan Dinasti Sanjaya adalah Candi Gedong Sanga dan Candi Dieng. Sementara itu, peninggalan Dinasti Syailendra meliputi Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon.

4.    Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya dipercaya berdiri abad ke-7 SM. Terdapat perdebatan mengenai lokasi kerajaan ini. Ada yang menyebut bahwa Kerajaan Sriwijaya bertempat di Palembang, sementara sebagian lain percaya kalau kerajaan ini berlokasi di Minagatamwan, Jambi. Sumber sejarah yang merujuk kepada kerajaan ini pun cukup banyak, yaitu berupa prasasti, naskah, piagam, serta berita dari Cina. Awalnya Kerajaan Sriwijaya ini muncul setelah munculnya kota-kota perdagangan. Wilayah pantai timur Sumatra merupakan wilayah yang sangat ramai, hal ini dikarenakan wilayah tersebut menjadi salah satu jalur perdagangan.

Sriwijaya meninggalkan prasasti di dalam dan luar negeri. Beberapa prasasti peninggalan Sriwijaya yang berada di dalam negeri adalah Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo, Prasasti Kota Kapur, dan Prasasti Amoghapasa. Sementara itu, prasasti yang ditinggalkan di luar negeri adalah Prasasti Linggor, Prasasti Nalanda, Prasasti Laiden, dan lain-lain.

Dari sisi politik, Kerajaan Sriwijaya berhasil mengembangkan politik ekspansi. Karena itu, kerajaan ini mendapat julukan sebagai Negara Nusantara pertama. Sriwijaya juga berhasil menguasai Selat Mahaka dan dipandang sebagai penguasa perdagangan nasional dan internasional.

Menurut Prasasti Kedukan Bukit, raja Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang, berhasil menaklukkan daerah Minangatamwan yang diperkirakan saat ini adalah daerah Jambi. Letak Sriwijaya yang cukup strategis mendorong interaksi antara Sriwijaya dengan kerajaan di luar Nusantara, seperti kerajaan Nalanda dan kerajaan Chola dari India. Selain dengan India, Sriwijaya juga melakukan hubungan baik dengan pedagang-pedagang dari Tiongkok yang sering singgah. Perluasan daerah kekuasaan ini, mendorong perekonomian kerajaan menjadi maju.

Selain Dapunta Hyang, Sriwijaya pernah dipimpin oleh Raja Balaputradewa yang merupakan keturunan Dinasti Syailendra. Di bawah kepemimpinan Balaputradewa, Sriwijaya menjadi kerajaan yang sangat berjaya. Pada abad ke-7 M, kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Bangka, dan Laut Jawa. Seperti yang disebutkan dalam Prasasti Ligor yang ditemukan di Ligor, pangkalan kerajaan Sriwijaya berfungsi untuk mengawasi perdagangan di Selat Malaka. Hingga abad ke-8 M, kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan di Asia Tenggara. Oleh karena kekuasaannya yang sangat luas, Sriwijaya menjadi kerajaan maritim terbesar di seluruh Asia Tenggara.

Walaupun kerajaan Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di luar India, Sriwijaya tidak memiliki peninggalan budaya berupa candi-candi atau archa dalam bidang kebudayaan. Kepercayaan kerajaan Sriwijaya merupakan Buddha Mahayana.

Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran mulai pada abad ke-13 M, ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar seperti kerajaan Siam yang sama-sama menguasai jalur perdagangan. Selain itu, munculnya kerajaan Singasari yang ingin menyatukan wilayah Nusantara, mulai mengirim ekspedisi ke arah barat yang disebut ekspedisi Pamalayu. Aktifitas perdagangan juga sudah mulai berkurang, sehingga para pedagang menyeberang ke daerah Tanah Genting Kra. Kekuasaan Sriwijaya mulai berakhir karena munculnya kerajaan Majapahit dan dihancurkan pada 1377M.

5.    Kerajaan Singasari

Kerajaan Singasari adalah salah satu kerajaan maritim di Indonesia yang didirikan oleh Ken Arok di Malang, Jawa Timur pada tahun 1222. Sumber sejarah yang menjelaskan keberadaan kerajaan ini adalah Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca yang menceritakan tentang raja-raja yang memerintah Singasari. Ada pula Kitab Pararaton yang memaparkan tentang misteri Ken Arok. Raja-raja yang pernah memimpin Singasari berdasarkan Negarakertagama adalah Ken Arok, Anusapati, Tohjoyo, Rangawuni, dan Kertanegara.

Ekonomi Kerajaan Singasari bertumpu pada pertanian, perdagangan, dan pelayaran. Kondisi ekonomi Singasari semakin membaik di masa pemerintahan Kertanegara. Singasari meninggalkan berbagai produk kebudayaan berupa candi dan patung. Beberapa candi peninggalan Singasari adalah Candi Kidal, Candi Jago, dan Candi Singasari. Sementara itu, patung-patung yang ditinggalkan adalah patung Ken Dedes dan Kertanegara.

6.    Kerajaan Majapahit

Berdasarkan sumber sejarah, Kerajaan Majapahit bertempat di sekitar Sungai Brantas, Mojokerto. Majapahit dikenal sebagai kerajaan Hindu terbesar di Indonesia dan dijuluki sebagai kerajaan nasional kedua karena berhasil menguasai sebagian besar wilayah Nusantara. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya, yaitu menantu dari raja Singasari terakhir, Kertanegara. Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja tahun 1293 M dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Raden Wijaya meninggal tahun 1309 M dan digantikan oleh putranya Jayanegara.

Jayanegara kemudian diteruskan oleh Tribhuana Tunggadewi. Setelah mengundurkan diri di tahun 1350, Tribhuana Tunggadewi menunjuk anaknya, Hayam Wuruk, sebagai raja. Hayam Wuruk ditemani oleh Gajah Mada sebagai mahapati. Di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk, Majapahit berhasil menaklukkan wilayah Nusantara. Gajah Mada meninggal di tahun 1364 M, sementara Hayam Wuruk meninggal tahun 1389 M. Hayam Wuruk digantikan oleh Wikramawardhana yang menjabat selama 12 tahun sebelum wafat di tahun 1429 M.

Kerajaan Majapahit bergantung pada pertanian dan perdagangan di sektor ekonomi. Di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk, Majapahit membangun jalan lalu lintas dan pelabuhan. Barang-barang yang didagangkan oleh Majapahit di antaranya adalah beras, rempah-rempah, dan kayu cendana. Kerajaan Majapahit meninggalkan berbagai candi sebagai produk kebudayaan, yaitu Candi Panataran, Candi Brahu, Candi Bentar, Candi Bajang Ratu, dan Candi Tikus. Majapahit juga meninggalkan berbagai karya sastra, seperti Kitab Negarakertagama, Kitab Sutasoma, Kitab Paraton, dan Kitab Arjunawijaya.

7.    Kerajaan Medang Kamulan

Kerajaan Medang Kamulan terletak di Jawa Timur, tepatnya di muara sungai Brantas. Kerajaan ini merupakan hasil pemindahan kerajaan Mataram Kuno akibat bencana alam gunung Merapi, dan yang mendirikan adalah Mpu Sindok. Selama masa pemerintahan Mpu Sindok, wilayah kekuasaan kerajaan Medang Kamulan meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Timur, seperti Nganjuk bagian barat, Pasuruan bagian timur, Surabaya bagian utara, dan Malang bagian Selatan. Mpu Sindok memiliki gelar Sri Isyanatunggadewa karena mendirikan Dinasti Isyana. Mpu Sindok merupakan keturunan dari Dinasti Sanjaya dari Mataram, namun karena desakan dari Sriwijaya, akhirnya Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur. Pada masa pemerintahan Mpu Sindok, aktifitas perdagangan cukup tinggi di Jawa Timur. Sampai masa pemerintahan Dharmawangsa, aktifitas perdagangan meluas sampai keluar daerah Jawa Timur.

Ada hal yang perlu kita teladani dari apa yang dilakukan oleh Mpu Sindok. Untuk bidang sosial budayanyaMpu Sindok mencontohkan bagaimana sikap toleransi. Satu bentuk toleransinya adalah ketika Mpu Sinduk mengizinkan penyusunan kitab Sanghyang Kamahayanikan, yang merupakan kitab suci agama Buddha, padahal Mpu Sindok adalah penganut agama Hindu.

8.    Kerajaan Pajajaran

Kerajaan Pajajaran terletak di Parahyangaan Sunda. Kerjaan Pajajaran disebut juga dengan Kerjaan Sunda. Kerjaan Pajajaran di dirikan oleh Sri Jayabhupati pada tahun 923, hal ini disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak yang berada di Cibadak, Sukabumi. Kerjaan Pajajaran mencapai puncak kejayaan dibawah pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Raja Sri Baduga atau Siliwangi membangun banyak tempat seperti telaga, jalan menuju ibukota Pakuan dan Wanagiri. Pakuan pajajaran adalah ibu kota (Dayeuh dalam Bahasa Sunda Kuno) Kerajaan Sunda Galuh yang pernah berdiri pada tahun 1030-1579 M di Tatar Pasundan, wilayah barat pulau Jawa. Lokasinya berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda Galuh sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan.

Lokasi Pajajaran pada abad ke-15 dan abad ke-16 dapat dilihat pada peta Portugis yang menunjukkan lokasinya di wilayah Bogor, Jawa Barat. Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masa itu.

a.      Kemunduran

"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Artinya:

"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan dirampasnya Palangka Sriman Sriwacana (batu penobatan tempat seorang calon raja dari trah kerajaan Sunda duduk untuk dinobatkan menjadi raja pada tradisi monarki di Tatar Pasundan), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman. Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah penggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

b.      Raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran

Berikut adalah raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran:

1.    Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)

2.    Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan

3.    Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan

4.    Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan

5.    Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf

6.    Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang.

c.       Asal-usul

Asal usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu:

1)    Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuno ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.

2)    K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").

3)    G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.

4)    R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).

5)    H. ten Dam (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".

Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibu kota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai Besar" dan "Sungai Tanggerang" (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane).

Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ci Liwung dan Ci Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran". Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi. Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.

Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam. Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibu kota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibu kota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.

Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibu kota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibu kota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila bermaksud menyebut ibu kota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibu kota kerajaan. Karena lokasi Pakuan yang berada di antara dua sungai yang sejajar maka Pakuan disebut juga Pajajaraan.

d.      Naskah kuno

Salinan gambar "Lokasi dan Tempat Ibu Kota Pakuan Pajajaran" dari buku Kabudayaan Sunda Zaman Pajajaran Jilid 2, 2005)

Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Museum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:

Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.

Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.

Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuno dan Jawa Kuno kata "kancil" memang berarti "peucang".

e.      Berita-berita VOC

Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris. Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Ci Sadane menjadi batas kedua belah pihak.

f.        Laporan Scipio

Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:

·         Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Berikut adalah salah satu bagian catatannya: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".

·         Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.

Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis". Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).

Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan mitos adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.

g.      Laporan Adolf Winkler (1690)

Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kompeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur. Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut : Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedunghalang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut twee lanen ("jalan dua lajur"). Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ci Liwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.

Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.

Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada zaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". "Tajur" adalah kata Sunda Kuno yang berarti "tanam, tanaman, atau kebun". Tajuragung sama artinya dengan "Kebon Besar" atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajuragung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.

·         Dari Tajuragung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawanggintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawanggintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantarpeuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon gintung.

·         Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh pohon beringin.

·         Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca "Purwagalih", maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Balekambang ("rumah terapung"). Balekambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.

Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.

·         Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).

Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah telantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.

·         Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.

h.      Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)

Abraham adalah putera Jan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu. Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondokcina - Depok - Pondokpucung (Citayam) - Bojongmanggis (dekat Bojonggede) - Kedunghalang - Parungangsana (Tanah Baru).

Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanahabang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondokcina dan seterusnya sama dengan rute 1703. Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanahabang - Karet - Serengseng - Pondokpucung - Bojongmanggis - Pagerwesi - Kedungbadak - Panaragan. Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang de toegang (jalan masuk) atau de opgang (jalan naik) ke Pakuan.

Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:

·         Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).

·         Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.

·         Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota.

·         Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.

Pada kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.

i.        Hasil Penelitian

Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden, Belanda. Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu. Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan,

"Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".

(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).

Sedikit kontradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.

Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.

Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor.

Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu. Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua.

Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".

Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama.

Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang. Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas fondasi benteng.Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.

Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincaw.

9.    Kerajaan Kadiri

Kerjaan Kadiri atau Kerajaan Kediri merupakan salah satu kerajaan yang bercorak Hindu dan terletak di Kediri, Jawa Timur sekitar tahun 1042 hingga 1222. Pusat kerajaan Kadiri teretak di daerah Daha (sekarang Kediri). Hal ini ditunjukkan dari adanya prasasti Pamwatan dari Airlangga.

a.    Kehidupan Politik

Keadaan politik pemerintahan dan keadaan masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita dari Cina, yaitu dalam kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 dan pada kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh Chaujukua pada tahun 1225. Kitab itu melukiskan keadaan pemerintahan dan masyarakat zaman Kediri. Kitab itu menggambarkan masa pemerintahan Kediri termasuk stabil dan pergantian takhta berjalan lancar tanpa menimbulkan perang saudara. Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh tiga orang putranya dan empat pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300 pejabat sipil (administrasi) dan 1.000 pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah 30.000 orang dengan mendapat gaji dari kerajaan. Raja berpakaian sutra, memakai sepatu kulit, perhiasan emas, dan rambutnya disanggul ke atas. Jika bepergian, raja naik gajah atau kereta dengan dikawal oleh 500–700 prajurit. Pemerintah sangat memperhatikan keadaan pertanian, peternakan, dan perdagangan. Pencuri dan perampok jika tertangkap dihukum mati.

Setelah 58 tahun mengalami masa suram, Kerajaan Panjalu (Kediri) bangkit lagi sekitar tahun 1116. Raja yang memerintah, antara lain sebagai berikut.

1)    Rakai Sirikan Sri Bameswara

Raja Bameswara pertama adalah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana Sarwwaniwaryya Wiryya Parakrama Digjayattunggadewa. Hal itu disebutkan pada Prasasti Pandlegan I yang berangka tahun 1038 Saka (1116 Masehi). Raja Sirikan masih mengeluarkan prasasti lain, yaitu

·      Prasasti Panumbangan berangka tahun 1042 Saka (1120 M)

·      Prasasti Geneng berangka tahun 1050 Saka (1128 M)

·      Prasasti Candi Tuban berangka tahun 1052 Saka (1130 M)

·      Prasasti Tangkilan berangka tahun 1052 Saka (1130 M).

Prasasti lainnya adalah Prasasti Karang Reja berangka tahun 1056 Saka (1136 Masehi), tetapi tidak jelas siapa yang mengeluarkannya. Apakah dikeluarkan oleh Bameswara atau Jayabaya? Lencana kerajaan yang digunakan adalah tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang disebut Candrakapala. Bameswara diperkirakan memerintah hingga tahun 1134 M.

2)    Raja Jayabaya

Pengganti Raja Bameswara adalah Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudana Wataranindita Parakrama Digjayottunggadewanama Jayabhayalancana. Ia memerintah pada tahun 1057 Saka (1135 M). Salah satu prasastinya yang menarik adalah Prasasti Talan berangka tahun 1508 Saka (1136 M) yang berisi pemindahan Prasasti Ripta (tahun 961 Saka) menjadi Prasasti Dinggopala oleh Raja Jayabaya. Dalam prasasti itu, ia disebutkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.

Lencana kerajaan yang dipakai adalah Narasingha, tetapi pada Prasasti Talan disebutkan pemakaian lencana Garuda Mukha. Pada Prasasti Hantang (1057 Saka) atau 1135 M dituliskan kata pangjalu jayati, artinya panjalu menang berperang atas Jenggala dan sekaligus untuk menunjukkan bahwa Jayabaya adalah pewaris takhta kerajaan yang sah dari Airlangga.

3)    Raja Sarweswara

Pengganti Raja Jayabaya ialah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardhanawatara Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama. Sarweswara memerintah tahun 1159 hingga 1169. Lencana kerajaan yang digunakan adalah Ganesha.

4)    Sri Aryyeswara

Raja Sarweswara kemudian digantikan oleh Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusudanawatararijamukha. Masa pemerintahan Raja Sri Aryyeswara hanya sampai tahun 1181 dan digantikan oleh Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayattunggaduwanama Sri Gandra.

5)    Sri Gandra

Pada masa pemerintahan Sri Gandra dikenal jabatan senapati sarwajala (laksamana laut). Dengan jabatan itu, diduga Kediri mempunyai armada laut yang kuat. Di samping itu, juga dikenal pejabat yang menggunakan nama-nama binatang, misalnya Kebo Salawah, Lembu Agra, Gajah Kuning, dan Macan Putih.

6)    Kameswara

Kameswara memerintah Kerajaan Kediri tahun 1182–1185. Kameswara bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Tri Wikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama. Pada masa pemerintahan Kameswara, seni sastra berkembang pesat.

7)    Kertajaya

Setelah Kameswara mangkat, raja yang memerintah Kediri adalah Kertajaya atau Srengga. Gelar Kertajaya ialah Sri Maharaja Sarweswara Triwikramataranindita Srenggalancana Digjayattunggadewanama. Kertajaya adalah raja terakhir yang memerintah Kediri. Kertajaya memerintah Kediri tahun 1185–1222. Pada masa pemerintahannya, Kertajaya sering berselisih pendapat dengan para brahmana. Para brahmana kemudian minta perlindungan kepada Ken Arok. Kesempatan emas itu digunakan Ken Arok untuk memberontak raja. Oleh karena itu, terjadilah pertempuran hebat di Ganter. Dalam pertempuran itu, Ken Arok berhasil mengalahkan Raja Kertajaya. Dengan berakhirnya masa pemerintahan Kertajaya, berakhir pula masa pemerintahan Kerajaan Kediri sebagai kelanjutan Dinasti Isana yang didirikan oleh Empu Sindok.

 

Patung Airlangga Menaiki Garuda

 

 

b.    Kehidupan Ekonomi

Kediri merupakan kerajaan agraris dan maritim. Masyarakat yang hidup di daerah pedalaman bermata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian di daerah pedalaman Kerajaan Kediri sangat melimpah karena didukung oleh kondisi tanah yang subur. Hasil pertanian yang melimpah memberikan kemakmuran bagi rakyat. Masyarakat yang berada di daerah pesisir hidup dari perdagangan dan pelayaran. Pada masa itu perdagangan dan pelayaran berkembang pesat. Para pedagang Kediri sudah melakukan hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya. Pada masa itu, mata uang yang terbuat dari emas dan campuran antara perak, timah, dan tembaga sudah digunakan. Hubungan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir sudah berjalan cukup lancar. Sungai Brantas banyak digunakan untuk lalu lintas perdagangan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir.

c.    Kehidupan Sosial Budaya

Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.

Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa. Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai berikut.

1)    Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.

2)    Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.

3)    Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.

Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri, antara lain sebagai berikut.

1)    Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.

2)    Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.

Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna.

10. Kerajaan Salakanegara

Kerajaan Salakanegara berada di daerah Jawa Barat. Kerjaan ini diyakini sebagai kerajaan paling awal di Nusantara, dan diperkirakan berdiri pada abad ke-2 masehi. Kerajaan ini dipercaya sebagai kerajaan leluhur orang Sunda dan juga merupakan cikal – bakal orang betawi. Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara. Salakanagara diyakini sebagai leluhur Suku Sunda, hal dikarenakan wilayah peradaban Salakanagara sama persis dengan wilayah peradaban orang Sunda selama berabad-abad. Dan yang memperkuat lagi adalah kesamaan kosakata antara Sunda dan Salakanagara. Disamping itu ditemukan bukti lain berupa Jam Sunda atau Jam Salakanagara, suatu cara penyebutan Waktu/Jam yang juga berbahasa Sunda.

Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyrè oleh Ptolemeus dalam tahun 150, dikarenakan Salakanagara diartikan sebagai "Negara Perak" dalam bahasa Sansakerta. Kota ini terletak di daerah Teluk Lada, Pandeglang, Banten. Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua duta dari Pallawa Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pohaci Larasati diperistri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.

Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara beribu kota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agninusa (Negeri Api) yang berada di Pulau Krakatau.

Rajatapura adalah ibu kota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.

a.    Pendahulu Kerajaan Tarumanagara

Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya. Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.

Memang banyak para ahli yang masih memperdebatkan masalah institusi kerajaan sebelum Tarumanegara melalui berbagai sumber sejarah seperti berita Tiongkok dan bangsa Eropa atau naskah-naskah Kuno. Claudius Ptolemaeus, seorang ahli bumi masa Yunani Kuno menyebutkan sebuah negeri bernama Argyrè yang terletak di wilayah Timur Jauh. Negeri ini terletak di ujung barat Pulau Iabodio yang selalu dikaitkan dengan Yawadwipa yang kemudian diasumsikan sebagai Jawa. Argyrè sendiri berarti perak yang kemudian ”diterjemahkan” oleh para ahli sebagai Merak.

Kemudian sebuah berita Tiongkok yang berasal dari tahun 132 M menyebutkan wilayah Ye-tiao yang sering diartikan sebagai Yawadwipa dengan rajanya Pien yang merupakan lafal Mandarin dari bahasa Sansakerta Dewawarman. Namun tidak ada bukti lain yang dapat mengungkap kebenaran dari dua berita asing tersebut.

b.    Raja-raja Salakanagara

Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara adalah:

Tahun berkuasa

Nama raja

Julukan

Keterangan

130-168 M

Dewawarman I

Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara

Pedagang asal Bharata (India)

168-195 M

Dewawarman II

Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra

Putra tertua Dewawarman I

195-238 M

Dewawarman III

Prabu Singasagara Bimayasawirya

Putra Dewawarman II

238-252 M

Dewawarman IV

Menantu Dewawarman II, Raja Ujung Kulon

252-276 M

Dewawarman V

Menantu Dewawarman IV

276-289 M

Mahisa Suramardini Warmandewi

Putri tertua Dewawarman IV & istri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut

289-308 M

Dewawarman VI

Sang Mokteng Samudera

Putra tertua Dewawarman V

308-340 M

Dewawarman VII

Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati

Putra tertua Dewawarman VI

340-348 M

Sphatikarnawa Warmandewi

Putri sulung Dewawarman VII

348-362 M

Dewawarman VIII

Prabu Darmawirya Dewawarman

Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara

Mulai 362 M

Dewawarman IX

Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara

c.    Kerajaan Bawahan Salakanagara

Salakanagara membawahi kerajaan-kerajaan kecil, yang didirikan oleh orang-orang yang berasal dari dinasti Dewawarman (raja-raja yang memerintah Salakanagara). Kerajaan yang menjadi bawahan Salakanagara antara lain:

1)    Kerajaan Ujung Kulon

Kerajaan Ujung Kulon berlokasi di wilayah Ujung Kulon dan didirikan oleh Senapati Bahadura Harigana Jayasakti (adik kandung Dewawarman I). Saat kerajaan ini dipimpin oleh Darma Satyanagara, sang raja menikah dengan putri dari Dewawarman III dan kemudian menjadi raja ke-4 di Kerajaan Salakanagara. Ketika Tarumanagara tumbuh menjadi kerajaan yang besar, Purnawarman (raja Tarumanagara ke-3) menaklukkan Kerajaan Ujung Kulon. Akhirnya Kerajaan Ujung Kulon menjadi Kerajaan bawahan dari Tarumanagara. Lebih dari itu, pasukan Kerajaan Ujung Kulon juga ikut membantu pasukan Wisnuwarman (raja Tarumanagara ke-4) untuk menumpas pemberontakan Cakrawarman.

2)    Kerajaan Tanjung Kidul

Kerajaan Tanjung Kidul beribu kota Aghrabintapura (Sekarang termasuk wilayah Cianjur Selatan). Kerajaan ini dipimpin oleh Sweta Liman Sakti (adik ke-2 Dewawarman I).

d.    Pengaruh dari India

Pendiri Salakanagara, Dewawarman, merupakan seorang duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan putri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Salankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai Magada. Sementara Kerajaan Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.

11. Kerajaan Kalingga

Kerjaaan Kalingga atau yang disebut juga dengan Kerajaan Holing terletak di wilayah pesisir utara Jawa Tengah, dengan pusat pemerintah berada di wilayah Pekalongan dan Jepara. Mayoritas masyarakat Kerajaan Kalingga beragama Hindu dan Budha serta menggunakan bahasa Sansekerta dan Melayu Kuno. Puncak kejayaan Kalingga adalah saat berada dalam kepemimpinan Ratu Shima yang memerintah sekitar tahun 674 masehi hingga 732 masehi.

Kehidupan Politik Kerajaan Kalingga Kehidupan Politik Pada abad VII Masehi Kerajaan Kalingga pernah dipimpin seorang ratu bernama Sima. Ratu Sima menjalankan pemerintahan dengan tegas, keras, adil, dan bijaksana. Dia melarang rakyatnya untuk menyentuh dan mengambil barang bukan milik mereka yang tercecer di jalan. Bagi siapa pun yang melanggar akan memperoleh hukuman berat. Hukum di Kalingga dapat ditegakkan dengan baik. Rakyat taat pada peraturan yang dibuat ratu mereka. Oleh sebab itu, ketertiban dan ketentraman di Kalingga berjalan baik. Menurut naskah Carita Parahyangan, Ratu Sima mempunyai cucu bernama Sahana yang menikah dengan Raja Brantasenawa dari Kerajaan Galuh. Sahana mempunyai anak bernama Sanjaya yang kelak menjadi Dinasti Sanjaya. Sepeninggalan Ratu Sima, Kerajaan Kalingga ditaklukan oleh Kerajaan Sriwijaya.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kalingga Kerajaan Kalingga mengembangkan perekonomian perdagangan dan pertanian. Letaknya yang dekat dengan pesisir utara Jawa Tengah menyebabkan Kalingga gampang diakses oleh para pedagang dari luar negeri. Kalingga adalah daerah penghasil kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading sebagai barang dagangan. Sementara wilayah pedalaman yang subur, dimanfaatkan penduduk untuk mengembangkan pertanian. Hasil-hasil pertanian yang diperdagangkan antara lain beras dan minuman. Penduduk Kalingga dikenal pandai membuat minuman berasal dari bunga kelapa dan bunga aren. Minuman tesebut mempunyai rasa manis dan bisa memabukkan. Dari hasil perdagangan dan pertanian itu, penduduk Kalingga hidup makmur.

Kehidupan Agama Kerajaan Kalingga Kerajaan Kalingga adalah pusat agama Buddha di Jawa. Agama Buddha yang berkembang di Kalingga adalah ajaran Buddha Hinayana. Pada tahun 664 seseorang pendeta Buddha dari Cina bernama Hwi-ning berkunjung ke Kalingga. Dia dating untuk menerjemahkan sebuah naskah terkenal agama Buddha Hinayana dari bahasa Sanskerta dalam bahasa Cina. Usaha Hwing-ning ditolong oleh seorang pendeta Buddha dari Jawa bernama Jnanabadra.

Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Kalingga Penduduk Kalingga hidup dengan teratur. Ketertiban dan ketentraman sosial di Kalingga dapat berjalan dengan baik berkat kepemimpinan Ratu Sima yang tegas dan bijaksana dalam menjalankan hukum dan pemerintahan. Dalam menegakkan hukum Ratu Sima tidak membedakan antara rakyat dengan anggota kerabatnya sendiri. Berita mengenai ketegasan hukum Ratu Sima pernah didengar oleh Raja Ta-Shih. Ta-Shih adalah sebutan Cina untuk kaum muslim Arab dan Persia. Raja Ta-Shih lalu menguji kebenaran khabar tersebut. Dia memerintahkan anak buahnya untuk meletakkan satu kantong emas di jalan wilayah Kerajaan Ratu Sima. Selama tiga tahun kantong itu dibiarkan tergeletak di jalan dan tidak seorang pun berani menyentuh. Setiap orang melewati kantong emas itu berusaha menyingkir. Pada suatu hari putra mahkota tidak sengaja menginjak kantong itu sehingga isinya berhamburan. Kejadiaan ini membuat Ratu Sima marah dan memerintahkan hukuman mati untuk putra mahkota. Akan tetapi, para menteri berusaha memohon pengampunan untuk putra mahkota. Ratu Sima menanggapi permohonan itu dengan memerintahkan agar jari kaki putra mahkota yang menyentuh kantong emas dipotong. Peristiwa ini adalah bukti ketegasan Ratu Sima dalam menegakkan hukum.

12. Kerajaan Kahuripan

Kerajaan Kahuripan berada di wilayah Jawa Timur dan didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009, Airlangga sendiri memerintah kerajaan Kahurioan dari tahun 1009 hingga 1042 masehi. Dalam kepemerintahannya Airlangga, berupaya untuk menyatukan kembali kerajaan-kerajaan kecil yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Medang (kerajaan sebelum kerajaan Kahuripan). Keinginan Airlangga tersebut kemudian berubah menjadi misi untuk menaklukan seluruh wilayah Jawa.

Nama Kahuripan muncul kembali dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1293. Raden Wijaya sang pendiri kerajaan tampaknya memperhatikan adanya dua kerajaan yang dahulu diciptakan oleh Airlangga. Dua kerajaan tersebut adalah Kadiri alias Daha, dan Janggala alias Kahuripan atau Jiwana. Keduanya oleh Raden Wijaya dijadikan sebagai daerah bawahan yang paling utama. Daha di barat, Kahuripan di timur, sedangkan Majapahit sebagai pusat. Pararaton mencatat beberapa nama yang pernah menjabat sebagai Bhatara i Kahuripan, atau disingkat Bhre Kahuripan. Yang pertama ialah Tribhuwana Tunggadewi putri Raden Wijaya. Setelah tahun 1319, pemerintahannya dibantu oleh Gajah Mada yang diangkat sebagai patih Kahuripan, karena berjasa menumpas pemberontakan Ra Kuti.

Hayam Wuruk sewaktu menjabat yuwaraja juga berkedudukan sebagai raja Kahuripan bergelar Jiwanarajyapratistha. Setelah naik takhta Majapahit, gelar Bhre Kahuripan kembali dijabat ibunya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi yang menjabat Bhre Kahuripan adalah cucunya, yang bernama Surawardhani. Lalu digantikan putranya, yaitu Ratnapangkaja. Sepeninggal Ratnapangkaja, gelar Bhre Kahuripan disandang oleh keponakan istrinya (Suhita) yang bernama Rajasawardhana. Ketika Rajasawardhana menjadi raja Majapahit, gelar Bhre Kahuripan diwarisi putra sulungnya, yang bernama Samarawijaya.

13. Kerajaan Kanjuruhan

Kerajaan Kanjuruhan, kerajaan Hindu di Jawa Timur. Berdiri sejak abad ke-8 M, diperkirakan sezaman dengan kerajaan Tarumanegara dan kerajaan Kalingga. Wilayah kekuasaan kerajaan Kanjuruhan berada di sekitar Kota Malang, tepatnya di daerah Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede. Keberadaan kerajaan Kanjuruhan ditunjukkan oleh Prasasti Dinoyo, yang dibuat pada 760 M. Prasasti berupa lempengan batu berukir tersebut berisi beberapa baris tulisan beraksara Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta.

a.    Kehidupan Politik

Pendiri dari Kerajaan Kanjuruhan adalah Raja Gajayana, putra Dewasimha. Raja ini mempunyai putri bernama Uttejana.

b.    Kehidupan Sosial dan Budaya

Peninggalan budaya dari Kerajaan Kajuruhan adalah Prasasti Dinoyo yang ditulis dengan huruf Jawa Kuno dan menggunakan bahasa Sanskerta. Dalam prasasti disebutkan sebuah bangunan sucin. Bangunan suci yang disebutkan dalam prasasti tersebut sekarang dikenal sebagai candi Badut.

c.    Kehidupan Ekonomi

Tidak banyak peninggalan dari Kerajaan Kanjuruhan, namun diprediksi mata pencaharian mayoritas masyarakatnya adalah di bidang pertanian.

d.    Penyebab Runtuhnya

Tidak banyak peningalan dari kerajaan Kajuruhan, sehingga sangat sulit menentukan penyebab dari keruntuhannya. Tetapi, jika diprediksi, bisa saja kerajaan tersebut runtuh karena ditaklukan oleh Kerajaan lain.

14. Kerajaan Wijayapura

Kerajaan Wijayapura adalah kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 di Kalimantan Barat dan terletak di sekitar Sungai Rejang. Namun, kerajaan ini diduga berdiri pada sekitar abad ke-6 atau 7 di Kalimantan Barat. Hal ini ditunjukkan oleh adanya penemuan benda-benda kuno bercorah Hindu seperti patung dan gerabah.

15. Kerajaan Melayu

Kerajaan Melayu berada di wilayah Pulau Sumatera dan berpusat di tepian Sungai Batanghari di Jambi, berpindah ke hulu Sungai Batanghari di  Dharmasraya dan berpindah lagi ke Pagaruyung. Kerajaan ini diperkirakan telah berdiri sejak abad ke-4 Masehi. 
Hal ini berdasarkan kisah perjalan I-Tsing, seorang Sami Budha dari Cina yang menuturkan bahwa pada tahun 685 kerajaan Melayu ini telah takluk dibawah kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang disebut sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum akhirnya terintegrasi dengan Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682. Penggunaan kata Melayu, telah dikenal sekitar tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon[4]. Dan kemudian dalam kitab Hindu Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi air.

Berita tentang kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang) dalam pelayarannya dari Tiongkok ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa. Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.

Berita lain mengenai kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645 untuk pertama kalinya, tetapi setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Melayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Tiongkok.

a.    Lokasi Pusat Kerajaan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah rajaKertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu.

Candi Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi.

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit. Lokasi pastinya adalah Muara Tebo. Muljana berpendapat, "... baik ditinjau dari peninggalan-peninggalan kuno yang berupa piagam maupun dari pemberitaan piagam Tanyore dan piagam Kedukan Bukit, maka letak pusat kerajaan Melayu di sekitar Muara Tebo lebih menguntungkan daripada di kota Jambi." (hal. 147).

Dari keterangan Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang menyatakan bahwa ia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatra.

b.    Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli. Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183  di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya. Dharmasraya dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas. Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Tiongkok disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali kerajaan Melayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

c.    Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatra sampai Sunda.

d.    San-fo-tsi

Dalam naskah-naskah kronik Tiongkok, istilah San-fo-tsi digunakan untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum. Pada zaman Dinasti Song sekitar tahun 990–an, istilah ini identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Tiongkok. Kronik Tiongkok mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi masih mengirimkan utusan masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang). Dalam berita Tiongkok yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Tiongkok yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya. Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir. Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Tiongkok untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Dinasti Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

e.    Ekspedisi Pamalayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatra yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang. Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari dengan Dharmasraya.

Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan antara Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga dinikahi oleh seorang “dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman. Adityawarman sendiri nantinya menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini untuk menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra. Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini. Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatra. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman.

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan pada tahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya dan selanjutnya memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau), dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatra) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Tiongkok yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih dirujuk kepada Adityawarman, yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377. Dan kemudian dari berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman, dimana pada naskah tersebut ada menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang[21].

Berikut ini daftar nama raja Melayu:

Tarikh

Nama Raja atau Gelar

Ibu kota

Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa

671

Minanga

Berita China, catatan perjalanan I-tsing (634-713). Dan Prasasti Kedukan Bukit tahun 682.

682-1156

Belum ada berita

1157-1182

Belum ada berita

1183

Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa

Dharmasraya

Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin.

1184-1285

Belum ada berita

1286

Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa

Dharmasraya

Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur (Kabupaten Dharmasraya sekarang), pengiriman Arca Amonghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Malayu.

1316

Akarendrawarman

Dharmasraya atau Suruaso

Prasasti Suruaso (Kab. Tanah Datar sekarang).

1347

Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa

Suruaso atau Pagaruyung

Arca Amoghapasa,tahun 1347 di (Kab. Dharmasraya sekarang),

Pindah ke Suruaso, Prasasti Suruaso (Kabupaten Tanah Datar sekarang), Pengiriman utusan ke Tiongkok sebanyak 6 kali dalam rentang waktu 1371 sampai 1377 pada masa Dinasti Ming.

1375

Ananggawarman

Pagaruyung

Prasasti Batusangkar (Kab. Tanah Datar sekarang).

 

16. Kerajaan Janggala

Kerajaan Janggala berdiri pada 1042, setelah Airlangga dari Kerajaan Kahuripan membagi wilayah kekuasaannya, menjadi Kerajaan Janggala dan Kerajaan Kadiri, untuk diberikan kepada kedua putranya yang saling berselisih. Kerajaan Jenggala beribu kota di Kahirapan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan, sedangkan Kerajaan Kadiri beribukota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya.

Sejak awal pemisahan dua kerajaan ini, hubungan antara Janggala dan Kadiri tidak pernah akur dan selalu terlibat dalam konflik. Nama Janggala diperkirakan berasal kata "Hujung Galuh", atau disebut "Jung-ya-lu" berdasarkan catatan China. Hujung Galuh terletak di daerah muara sungai Brantas yang diperkirakan kini menjadi bagian kota Surabaya. Kota ini merupakan pelabuhan penting sejak zaman kerajaan Kahuripan, Janggala, Kediri, Singhasari, hingga Majapahit. Pada masa kerajaan Singhasari dan Majapahit pelabuhan ini kembali disebut sebagai Hujung Galuh.

a.    Pembagian Kerajaan oleh Airlangga

Pusat pemerintahan Janggala terletak di Kahuripan. Menurut prasasti Terep, kota Kahuripan didirikan oleh Airlangga tahun 1032, karena ibu kota yang lama, yaitu Watan Mas direbut seorang musuh wanita. Berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, pada tahun 1042 pusat pemerintahan Airlangga sudah pindah ke Daha. Tidak diketahui dengan pasti mengapa Airlangga meninggalkan Kahuripan.

Pada tahun 1042 itu pula, Airlangga turun takhta. Putri mahkotanya yang bernama Sanggramawijaya Tunggadewi lebih dulu memilih kehidupan sebagai pertapa, sehingga timbul perebutan kekuasaan antara kedua putra Airlangga yang lain, yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Sri Samarawijaya mendapatkan Kerajaan Kadiri di sebelah barat yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan mendapatkan Kerajaan Janggala di sebelah timur yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.

b.    Raja-Raja Janggala

Pembagian kerajaan sepeninggal Airlangga terkesan sia-sia, karena antara kedua putranya tetap saja terlibat perang saudara untuk saling menguasai. Pada awal berdirinya, Kerajaan Janggala lebih banyak meninggalkan bukti sejarah daripada Kerajaan Kadiri. Beberapa orang raja yang diketahui memerintah Janggala antara lain:

1.    Mapanji Garasakan, berdasarkan prasasti Turun Hyang II (1044), prasasti Kambang Putih, dan prasasti Malenga (1052).

2.    Alanjung Ahyes, berdasarkan prasasti Banjaran (1052).

3.    Samarotsaha, berdasarkan prasasti Sumengka (1059).

c.    Akhir Kerajaan Janggala

Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui namanya hanya tiga orang saja, namun kerajaan ini mampu bertahan dalam persaingan sampai kurang lebih 90 tahun lamanya. Menurut prasasti Ngantang (1135), Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabhaya raja Kadiri, dengan semboyannya yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang. Sejak saat itu Janggala menjadi bawahan Kadiri. Menurut Kakawin Smaradahana, raja Kadiri yang bernama Sri Kameswara, yang memerintah sekitar tahun 1182-1194, memiliki permaisuri seorang putri Janggala bernama Kirana.

d.    Janggala sebagai Bawahan Majapahit

Setelah Kadiri ditaklukkan Singhasari tahun 1222, dan selanjutnya oleh Majapahit tahun 1293, secara otomatis Janggala pun ikut dikuasai. Pada zaman Majapahit nama Kahuripan lebih populer daripada Janggala, sebagaimana nama Daha lebih populer daripada Kadiri. Meskipun demikian, pada prasasti Trailokyapuri (1486), Girindrawardhana raja Majapahit saat itu menyebut dirinya sebagai penguasa Wilwatikta-Janggala-Kadiri.

e.    Bhre Kahuripan

1.    Tribhuwana 1309-1328, 1350-1375 Pararaton.27:18,19; 29:32 Nagarakertagama.2:2

2.    Hayam Wuruk 1334-1350 Prasasti Tribhuwana

3.    Wikramawardhana 1375-1389 Suma Oriental

4.    Surawardhani 1389-1400 Pararaton.29:23,26; 30:37

5.    Ratnapangkaja 1400-1446 Pararaton .30:5,6; 31:35

6.    Rajasawardhana 1447-1451 Pararaton.32:11; Prasasti Waringin Pitu

7.    Samarawijaya 1451-1478 Pararaton .32:23

f.     Janggala dalam Karya Sastra

Adanya Kerajaan Janggala juga muncul dalam Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365. Kemudian muncul pula dalam naskah-naskah sastra yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Pranitiradya. Dalam naskah-naskah tersebut, raja pertama Janggala bernama Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Airlangga. Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu Suryawisesa.

Panji Asmarabangun inilah yang sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh Candrakirana dari Kediri. Dalam pementasan Ketoprak, tokoh Panji setelah menjadi raja Janggala juga sering disebut Sri Kameswara. Hal ini jelas berlawanan dengan berita dalam Smaradahana yang menyebut Sri Kameswara adalah raja Kadiri, dan Kirana adalah putri Janggala. Selanjutnya, Panji Asmarabangun digantikan putranya yang bernama Kuda Laleyan, bergelar Prabu Surya Amiluhur. Baru dua tahun bertakhta, Kerajaan Janggala tenggelam oleh bencana banjir. Surya Amiluhur terpaksa pindah ke barat mendirikan Kerajaan Pajajaran.

Tokoh Surya Amiluhur inilah yang kemudian menurunkan Jaka Sesuruh, pendiri Majapahit versi dongeng. Itulah sedikit kisah tentang Kerajaan Janggala versi babad dan serat yang kebenarannya sulit dibuktikan dengan fakta sejarah.

17. Kerajaan Bali

Kerajaan Bali ini berdiri pada abad 9 hingga abad ke 14 masehi . Ketika kerajaan Majapahit runtuh, banyak rakyat Majapahit yang melarikan diri dan menetap di Bali. Sampai sekarang ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat Bali dianggap sebagai pewaris tradisi Majapahit. Penguasa pertama Kerajaan Bali adalah Sri Kesari Warma dewa. Kerajaan Bali merupakan istilah untuk serangkaian kerajaan Hindu-Budha yang pernah memerintah di Bali, di Kepulauan Sunda KecilIndonesia. Adapun kerajaan-kerajaan tersebut terbagi dalam beberapa masa sesuai dinasti yang memerintah saat itu. Dengan sejarah kerajaan asli Bali yang terbentang dari awal abad ke-10 hingga awal abad ke-20, kerajaan Bali menunjukkan budaya istana Bali yang canggih di mana unsur-unsur roh dan penghormatan leluhur dikombinasikan dengan pengaruh Hindu, yang diadopsi dari India melalui perantara Jawa kuno, berkembang, memperkaya, dan membentuk budaya Bali.

Karena kedekatan dan hubungan budaya yang erat dengan pulau Jawa yang berdekatan selama periode Hindu-Budha Indonesia, sejarah Kerajaan Bali sering terjalin dan sangat dipengaruhi oleh kerajaan di Jawa, dari kerajaan Medang pada abad ke-9 sampai ke kerajaan Majapahit pada abad ke-13 hingga 15. Budaya, bahasa, seni, dan arsitektur di pulau Bali dipengaruhi oleh Jawa. Pengaruh dan kehadiran orang Jawa semakin kuat dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-15. Setelah kekaisaran jatuh di bawah Kesultanan Muslim Demak, sejumlah abdi dalem Hindu, bangsawan, pendeta, dan pengrajin, menemukan tempat perlindungan di pulau Bali. Akibatnya, Bali menjadi apa yang digambarkan oleh sejarawan Ramesh Chandra Majumdar sebagai benteng terakhir budaya dan peradaban Indo-Jawa. Kerajaan Bali pada abad-abad berikutnya memperluas pengaruhnya ke pulau-pulau tetangga. Kerajaan Gelgel Bali misalnya memperluas pengaruh mereka ke wilayah Blambangan di ujung timur Jawa, pulau tetangga Lombok, hingga bagian barat pulau Sumbawa, sementara Karangasem mendirikan kekuasaan mereka di Lombok Barat pada periode selanjutnya.

 

Sejak pertengahan abad ke-19, negara kolonial Hindia Belanda mulai terlibat di Bali, ketika mereka meluncurkan kampanye mereka melawan kerajaan kecil Bali satu per satu. Pada awal abad ke-20, Belanda telah menaklukkan Bali karena kerajaan-kerajaan kecil ini jatuh di bawah kendali mereka, baik dengan kekerasan atau dengan pertempuran, diikuti dengan ritual massal bunuh diri, atau menyerah dengan damai kepada Belanda. Dengan kata lain, meskipun beberapa penerus kerajaan Bali masih hidup, peristiwa-peristiwa ini mengakhiri masa kerajaan independen asli Bali, karena pemerintah daerah berubah menjadi pemerintahan kolonial Belanda, dan kemudian pemerintah Bali di dalam Republik Indonesia.

a.    Sumber Sejarah

Sumber yang cukup penting tentang Kerajaan Bali adalah prasasti yang berangka 881 M. Bahasa yang dipakai adalah Bahasa Bali Kuno. Ada juga prasasti yang tertulis dalam bahasa Sanskerta. Pada abad ke-11, sudah ada berita dari Tiongkok yang menjelaskan tentang tanah Po-Li (Bali). Berita Tiongkok itu menyebutkan bahwa adat istiadat penduduk di tanah Po-Li hampir sama dengan masyarakat Ho-ling(Kalingga). Penduduknya menulis di atas daun lontar. Bila orang meninggal, mulutnya di masukan emas kemudian dibakar. Adat semacam ini masih berlangsung di Bali. Adat itu dinamakan Ngaben. Salah satu keluarga terkenal yang memerintah Bali adalah Wangsa Warmadewa. Hal itu dapat diketahui dari Prasasti Blanjong berangka 914 ditemukan di Desa Blanjong, dekat SanurDenpasarBali. Tulisannya bertulisan Nagari (India), dan sebagian berbahasa Sanskerta. Diberitakan bahwa raja yang memerintah adalah Raja Khesari Warmadewa. Pada tahun 915, Raja Khesari Warmadewa digantikan oleh Ugrasena.

b.    Kerajaan Bali Dwipa (kerajaan awal)

Stupika yang berisi tablet nazar Buddha, Bali abad ke-8. Stupa berbentuk lonceng mirip dengan seni Budha Jawa Tengah.

Prasasti Blanjong di Sanur (914), salah satu prasasti paling awal di Bali.

Bali telah dihuni oleh manusia sejak zaman Paleolitik (1 SM ke 200.000 SM), dibuktikan oleh penemuan alat kuno seperti kapak tangan di desa Sembiran dan desa Trunyan di Bali. Diikuti oleh periode Mesolitik (200.000-3.000 SM); nenek moyang penduduk Bali saat ini mencapai pulau itu sekitar 3000 hingga 600 SM selama periode Neolitikum, ditandai dengan teknologi penanaman padi dan berbicara bahasa Austronesia. Periode Zaman Perunggu mengikuti, dari sekitar 600 SM hingga 800 M.

Periode sejarah di Bali dimulai sekitar abad ke-8 M, ditandai dengan ditemukannya prasasti nazar Buddhis tertulis yang terbuat dari tanah lempung. Tablet nazar Buddha, yang ditemukan di patung-patung stupa tanah liat kecil yang disebut "stupika", adalah prasasti tertulis pertama yang diketahui di Bali dan berasal dari sekitar abad ke-8 M. Stupika lainnya semacam itu telah ditemukan di Kabupaten Gianyar, di desa Pejeng, Tatiapi, dan Blahbatuh. Loka-lava berbentuk lonceng mirip dengan gaya stupa abad ke-8 seni Buddha Jawa Tengah yang ditemukan di Borobudur dan candi-candi Budha lainnya yang berasal dari periode itu, yang menunjukkan hubungan Sailendra dengan para peziarah Budha atau penduduk sejarah awal Bali.

Pada awal abad ke-10, Sri Kesari Warmadewa menciptakan prasasti pilar Belanjong yang ditemukan di dekat jalur selatan pantai Sanur. Itu adalah tulisan tertua yang dibuat oleh penguasa yang ditemukan di Bali. Pilar tersebut bertanggal sesuai dengan kalender Saka India, pada 836 saka (914 M). Menurut prasasti itu, Sri Kesari adalah seorang raja Buddha dari Dinasti Syailendra yang memimpin ekspedisi militer, untuk mendirikan pemerintahan Buddha Mahayana di Bali. Dua prasasti lain oleh Kesari dikenal di pedalaman Bali, yang menunjukkan konflik di pedalaman pegunungan di pulau itu. Sri Kesari dianggap sebagai pendiri dinasti Warmadewa, penguasa Bali yang diketahui paling awal, yang makmur selama beberapa generasi sebelum ekspansi dari pulau Jawa.

Tampaknya, pusat peradaban awal Bali pertama kali terletak di daerah Sanur di sebelah timur kota Denpasar hari ini, dan kemudian pusat politik, agama dan budaya pindah ke pedalaman utara, berkelompok di sekitar dataran selatan di masa kini di Kabupaten Gianyar; lebih tepatnya di pusat kerajaan tua di Bedulu, dekat Goa Gajah dan Gianyar. Kuil gua batu dan tempat pemandian Goa Gajah, dekat Ubud di Gianyar, dibuat sekitar periode yang sama. Ini menunjukkan kombinasi ikonografi Buddha dan Hindu Siwa. Beberapa ukiran stupa, stupikas (stupa kecil), dan gambar Boddhisattva menunjukkan bahwa dinasti Warmadewa adalah pelindung Buddhisme Mahayana. Namun demikian, agama Hindu juga dipraktikkan di Bali selama periode ini.

c.    Raja dari Wangsa Warmadewa

Raja dari Wangsa Warmadewa yang pernah memerintah Bali salah satunya yang terkenal ialah:

·         Sri Candrabhayasingha Warmadewa membangun pemandian di Desa Manukraya. Nama pemandian itu adalah Tirta Empul yang berarti air timbul. Pemandian itu dekat dengan Istana Tampaksiring.

Ukiran batu di candi kuil Gunung Kawi menunjukkan gaya candi serupa Jawa selama periode Medang akhir.

Pada paruh kedua abad ke-10, Bali diperintah oleh raja Udayana Warmadewa dan ratunya, Mahendradatta, seorang putri dinasti Isyana dari Jawa Timur. Mahendradatta adalah putri raja Sri Makutawangsawarddhana, dan saudara perempuan raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang. Kehadiran ratu Jawa di istana Bali menunjukkan bahwa kemungkinan Bali telah membentuk aliansi dengan Jawa Timur, atau Bali adalah bawahan Jawa; pernikahan mereka adalah pengaturan politik untuk menyegel Bali sebagai bagian dari wilayah Medang, Jawa Timur. Pasangan kerajaan Bali adalah orang tua dari raja Jawa yang terkenal, Airlangga (991-1049). Adik laki-laki Airlangga, Marakata dan kemudian Anak Wungçu naik ke tahta orang Bali.

Kuil candi batu dari Gunung Kawi di Tampaksiring dibuat sekitar periode yang sama. Ini menunjukkan gaya candi serupa Jawa selama periode Medang akhir. Dinasti Warmadewa terus memerintah Bali dengan baik sampai abad ke-12 dengan masa pemerintahan Jayasakti (1146–50) dan Jayapangus (1178–81). Kontak dengan kekaisaran Cina juga penting selama periode ini. Koin Cina yang disebut kepeng banyak digunakan dalam perekonomian Bali. Pada abad ke-12, raja Jayapangus dari Bali utara diketahui telah menikahi seorang putri Cina, dan telah diabadikan melalui bentuk seni Barong Landung sebagai patung raja dan permaisur Cina-nya.

Setelah dinasti Warmadewa, keturunan mereka dan hubungan mereka dengan pengadilan Jawa, tidak ada informasi lebih lanjut yang terus menerus ditemukan tentang para penguasa Bali. Tampaknya Bali telah mengembangkan dinasti asli baru yang cukup independen dari Jawa. Pada akhir abad ke-13, Bali sekali lagi muncul dalam sumber Jawa seperti pada 1284, raja Kertanegara meluncurkan ekspedisi ofensif Pabali melawan penguasa Bali, yang mengintegrasikan Bali ke dalam wilayah Singhasari. Namun, setelah pemberontakan Gelang-gelang Jayakatwang pada tahun 1292 yang menyebabkan kematian Kertanegara dan jatuhnya Singhasari, Jawa tidak dapat menegaskan kekuasaan mereka atas Bali, dan sekali lagi penguasa Bali menikmati kemerdekaan mereka dari Jawa. Kontak Jawa menyebabkan dampak yang mendalam pada bahasa Bali yang dipengaruhi oleh bahasa Kawi, gaya Jawa Kuno. Bahasa ini masih digunakan di Bali meskipun sudah jarang.

Pura Maospahit ("Pura Majapahit") di Denpasar, Bali, memperagakan arsitektur bata merah khas Majapahit.

Di Jawa TimurMajapahit di bawah pemerintahan ratu pangeran Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Perdana Menteri Gajah Mada yang cakap dan ambisius, menyaksikan perluasan armada Majapahit ke pulau-pulau tetangga di kepulauan Indonesia termasuk Bali yang berdekatan. Menurut naskah Babad Arya Tabanan, pada tahun 1342 pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada dibantu oleh jendralnya Arya Damar, bupati Palembang, mendarat di Bali. Setelah tujuh bulan pertempuran, pasukan Majapahit mengalahkan raja Bali di Bedulu (Bedahulu) pada tahun 1343. Setelah penaklukan Bali, Majapahit mendistribusikan otoritas pemerintahan Bali di antara saudara-saudara muda Arya Damar; Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong dan Arya Belog. Arya Kenceng memimpin saudara-saudaranya untuk memerintah Bali di bawah bendera Majapahit, ia menjadi leluhur raja-raja Bali dari rumah-rumah kerajaan Tabanan dan Badung.

Canto 14 Nagarakretagama, disusun pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada tahun 1365, menyebutkan beberapa tempat di Bali; Bedahulu dan Lwa Gajah (diidentifikasikan sebagai Goa Gajah) sebagai tempat di bawah kekuasaan Majapahit. Ibu kota Majapahit di Bali didirikan di Samprangan dan kemudian Gelgel. Menyusul kematian Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki periode penurunan yang stabil dengan konflik atas suksesi, di antaranya adalah perang Paregreg (1405 hingga 1406).

Pada tahun 1468, Pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Raja Singhawikramawardhana dan menguasai Trowulan. Raja yang kalah memindahkan ibu kota lebih jauh ke pedalaman ke Daha (bekas ibu kota Kadiri), secara efektif membagi Majapahit menjadi dua pusat kekuasaan; Trowulan dan Daha. Singhawikramawardhana digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474, yang memerintah dari Daha. Untuk menjaga pengaruh Majapahit dan kepentingan ekonomi, Kertabhumi menganugerahi hak dagang pedagang Muslim di pantai utara Jawa, sebuah tindakan yang mengarah pada kesultanan Demak dalam beberapa dekade berikutnya. Kebijakan ini meningkatkan ekonomi dan pengaruh Majapahit, tetapi melemahkan posisi Hindu-Budha sebagai agama utama, karena Islam mulai menyebar lebih cepat dan bebas di Jawa. Keluhan pengikut Hindu-Buddha kemudian mendesak Ranawijaya untuk mengalahkan Kertabumi.

Pada 1478, pasukan Ranawijaya di bawah Jenderal Udara melanggar pertahanan Trowulan dan membunuh Kertabumi di istananya, Demak mengirim bala bantuan di bawah Sunan Ngudung, yang kemudian mati dalam pertempuran dan digantikan oleh Sunan Kudus, tetapi mereka datang terlambat untuk menyelamatkan Kertabumi meskipun mereka berhasil mengusir tentara Ranawijaya. Peristiwa ini disebutkan dalam prasasti Jiwu dan Petak, di mana Ranawijaya mengklaim bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi dan menyatukan kembali Majapahit sebagai satu Kerajaan. Ranawijaya memerintah dari tahun 1474 hingga 1498 dengan nama resmi Girindrawardhana, dengan Udara sebagai wakilnya. Peristiwa ini menyebabkan perang antara Kesultanan Demak dan Daha, karena penguasa Demak kala itu, Raden Patah, adalah keturunan Kertabhumi.

Pada 1498, wakil bupati Udara merebut Girindrawardhana dan perang antara Demak dan Daha surut. Tetapi keseimbangan yang rapuh ini berakhir ketika Udara meminta bantuan ke Portugal di Malaka dan memimpin Adipati Yunus dari Demak untuk menyerang Malaka dan Daha. Teori lain menyatakan bahwa alasan serangan Demak terhadap Majapahit adalah balas dendam terhadap Girindrawardhana, yang telah mengalahkan kakek Adipati Yunus, Prabu Bhre Kertabumi (Prabu Brawijaya V). Kekalahan Daha di bawah Demak menandai berakhirnya era Hindu Majapahit di Jawa. Setelah jatuhnya kekaisaran, banyak bangsawan Majapahit, pengrajin dan pendeta berlindung baik di daerah pegunungan pedalaman Jawa Timur, Blambangan di ujung timur Jawa, atau melintasi selat sempit ke Bali. Para pengungsi mungkin melarikan diri untuk menghindari pembalasan Demak atas dukungan mereka untuk Ranawijaya terhadap Kertabhumi.

Kerajaan Majapahit Jawa mempengaruhi Bali baik secara budaya maupun politik. Seluruh istana Majapahit melarikan diri ke Bali setelah penaklukan oleh penguasa Muslim pada tahun 1478, yang mengakibatkan pengalihan seluruh budaya. Bali dipandang sebagai kelanjutan dari budaya Jawa Hindu dan merupakan sumber utama pengetahuan tentang hal itu di zaman modern. Para bangsawan dan pendeta Jawa yang masuk mendirikan istana bergaya Majapahit di Bali. Masuknya menyebabkan beberapa perkembangan penting. Perkawinan keluarga-keluarga Bali terkemuka bersama dengan keluarga kerajaan Majapahit mengarah pada dasar garis keturunan kasta atas Bali. Gagasan Jawa khususnya tradisi Majapahit memengaruhi agama dan seni di pulau ini. Bahasa Jawa juga memengaruhi bahasa Bali yang dipetuturkan. Arsitektur dan kuil-kuil Bali modern memiliki banyak kesamaan dengan estetika dan gaya relief di kuil-kuil Jawa Timur dari zaman keemasan Majapahit. Sejumlah besar naskah Majapahit, seperti Nagarakretagama, Sutasoma, Pararaton dan Tantu Pagelaran, disimpan dengan baik di perpustakaan kerajaan Bali dan Lombok, dan memberikan sekilas dan catatan sejarah berharga tentang Majapahit. Sebagai hasil dari masuknya unsur Jawa, sejarawan Ramesh Chandra Majumdar menyatakan bahwa Bali "segera menjadi benteng terakhir budaya dan peradaban Indo-Jawa.”

Candi pemesuan di Gelgel, ibu kota kerajaan tua Bali.

Menurut naskah Babad Dalem (disusun pada abad ke-18), penaklukan Bali oleh kerajaan Jawa Hindu di Majapahit diikuti oleh pemasangan dinasti pengikut di Samprangan, Kabupaten Gianyar saat ini, dekat dengan pusat kerajaan lama Bedulu. Perpindahan ini berlangsung pada pertengahan abad ke-14. Penguasa Samprangan pertama Sri Aji Kresna Kepakisan menjadi bapak tiga putra. Dari mereka, yang tertua, Dalem Samprangan, berhasil memerintah hanya ternyata menjadi penguasa yang tidak kompeten. Adik bungsunya, Dalem Ketut, mendirikan kursi kerajaan baru di Gelgel sementara Samprangan tenggelam dalam ketidakjelasan.

Kontak Eropa pertama dengan Bali dilakukan pada 1512, ketika sebuah ekspedisi Portugis yang dipimpin oleh Antonio Abreu dan Francisco Serrão yang berlayar dari Melaka Portugis dan mencapai pantai utara Bali. Bali juga dipetakan pada 1512, dalam bagan Francisco Rodrigues. Di Majapahit, Jawa Timur, jatuhnya Daha ke Kesultanan Demak pada tahun 1517 telah mendorong perlindungan para bangsawan Hindu, pendeta dan pengrajin ke Bali. Pada 1585, pemerintah Portugis di Malaka mengirim sebuah kapal untuk membangun benteng dan pos perdagangan di Bali, tetapi misinya gagal ketika kapal itu kandas di terumbu semenanjung Bukit.

Pada abad ke-16, Puri (istana Bali) Gelgel menjadi pemerintahan yang kuat di wilayah tersebut. Pengganti Dewa Ketut, Dalem Baturenggong, memerintah pada pertengahan abad ke-16. Ia menerima seorang resi Brahmana Jawa bernama Nirartha yang melarikan diri dari kemunduran Hindu di Jawa. Raja menjadi pelindung Nirartha, yang juga membawa banyak karya sastra yang luas yang membentuk spiritualisme Hindu Bali. Gelgel mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Dalem Baturenggong, ketika LombokSumbawa barat dan Blambangan di Jawa paling timur, disatukan di bawah kekuasaan Gelgel. Pengaruh Gelgel terhadap Blambangan yang masih Hindu tampaknya menarik perhatian Sultan Mataram yang bercita-cita menyatukan seluruh Jawa dan juga untuk menyebarkan agama Islam. Pada 1639, Mataram melancarkan invasi ke Blambangan. Kerajaan Gelgel segera mendukung Blambangan sebagai penyangga terhadap ekspansi Mataram Islam. Blambangan menyerah pada tahun 1639, tetapi dengan cepat mendapatkan kembali kemerdekaannya dan bergabung kembali dengan Bali segera setelah pasukan Mataram menarik diri. Kesultanan Mataram sendiri, setelah kematian Sultan Agung, tampaknya sibuk dengan masalah internal mereka, dan kehilangan minat untuk melanjutkan kampanye mereka dan mengejar permusuhan terhadap Blambangan dan Gelgel.

d.    Periode Sembilan Kerajaan

Peta sembilan kerajaan Bali, sekitar tahun 1900

Setelah tahun 1651, kerajaan Gelgel mulai terpecah karena konflik internal. Pada tahun 1686, sebuah kursi kerajaan baru didirikan di Klungkung, empat kilometer utara Gelgel. Para penguasa Klungkung, yang dikenal dengan sebutan Dewa Agung, tidak mampu mempertahankan kekuasaan atas Bali. Pulau itu selanjutnya terbagi menjadi sembilan kerajaan kecil; Klungkung, BulelengKarangasemMengwiBadungTabananGianyarBangi dan Jembrana. Kerajaan-kerajaan kecil ini mengembangkan dinasti mereka sendiri, membangun Puri mereka sendiri (kompleks istana Bali) dan mendirikan pemerintahan mereka sendiri. Namun demikian, sembilan kerajaan di Bali ini mengakui kepemimpinan Klungkung, bahwa raja-raja Dewa Agung Klungkung adalah primus inter pares mereka di antara raja-raja Bali, dan pantas menerima tituler terhormat sebagai raja Bali. Sebagian besar kerajaan ini, saat ini, membentuk basis dan batas-batas Kabupaten Bali. Pada abad-abad berikutnya, berbagai kerajaan akan berperang berturut-turut di antara mereka sendiri, meskipun mereka memberi Dewa Agung status simbolis terpenting di Bali. Hal ini menyebabkan hubungan yang rumit di antara penguasa Bali, karena ada banyak raja di Bali. Situasi ini berlangsung hingga kedatangan Belanda pada abad ke-19.

 

 

 

e.    Intervensi asing

Raja Buleleng bunuh diri dengan 400 pengikut, pada tahun 1849 puputan melawan Belanda.

Meskipun kontak Eropa telah dilakukan sejak 1512 dan kemudian pada 1585 oleh armada Portugis, tidak ada kekuatan Eropa yang nyata dirasakan di Bali karena kerajaan Bali melanjutkan cara hidup mereka terpelihara sejak zaman Hindu Majapahit. Pada 1597, penjelajah Belanda Cornelis de Houtman tiba di Bali dan bertemu Dalem Gelgel. Ekspedisi Belanda kedua muncul pada 1601, yaitu Jacob van Heemskerck. Pada kesempatan ini, Dalem Gelgel mengirim surat kepada Pangeran Maurits, terjemahan yang dikirim oleh Cornells van Eemskerck. Surat itu memberikan izin kepada Belanda untuk berdagang di Bali serta menyatakan permintaan Bali untuk berdagang secara bebas dengan Belanda. Surat persahabatan dan perjanjian dagang diplomatik ini diterjemahkan secara salah sebagai pengakuan orang Bali atas kekuasaan Belanda dan selanjutnya digunakan oleh Belanda untuk mengajukan klaim mereka ke pulau itu. Meskipun VOC - yang berpusat di Batavia (sekarang Jakarta) - sangat aktif di Kepulauan Maluku, Jawa, dan Sumatra, VOC tidak tertarik pada Bali, karena VOC lebih tertarik pada perdagangan rempah-rempah, sebuah produk langka di Bali yang terutama kerajaan pertanian padi. Pembukaan pos perdagangan dicoba pada tahun 1620 tetapi gagal karena permusuhan lokal. VOC meninggalkan perdagangan Bali ke pedagang swasta, terutama Cina, Arab, Bugis dan kadang-kadang Belanda, yang terutama berurusan dengan perdagangan opium dan budak.

Dewa Agung dari Klungkung pada tahun 1908.

Namun, ketidakpedulian Belanda terhadap Bali berubah total pada abad ke-19, ketika kontrol kolonial Belanda meluas ke seluruh kepulauan Indonesia dan mereka mulai mengidam-idamkan pulau itu. Belanda menggunakan dalih untuk memberantas penyelundupan opium, lari senjata, tradisi tawan karang Bali (penjarahan kapal karam), dan perbudakan untuk memaksakan kontrol mereka pada kerajaan Bali. Tentara Hindia Belanda menginvasi Bali utara pada tahun 18461848, dan akhirnya pada tahun 1849 Belanda mampu mengendalikan kerajaan Bali utara, Buleleng dan Jembrana.

Pada tahun 1894, Belanda menggunakan pemberontakan Sasak melawan penguasa Bali Lombok Barat, sebagai alasan untuk mengganggu dan menaklukkan Lombok. Belanda mendukung pemberontakan Sasak, dan meluncurkan ekspedisi militer terhadap pengadilan Bali di Mataram, Lombok. Pada akhir November 1894, Belanda telah memusnahkan posisi orang Bali, dengan ribuan orang tewas, dan orang Bali menyerah atau melakukan ritual bunuh diri, puputan. Lombok dan Karangasem menjadi bagian dari Hindia Belanda. Segera sesudahnya kerajaan Bangli dan Gianyar juga menerima kekuasaan Belanda, tetapi Bali selatan terus menolak.

Pada tahun 1906 Belanda melancarkan ekspedisi militer melawan kerajaan Bali selatan, Badung dan Tabanan, dan melemahkan kerajaan Klungkung, lagi-lagi dengan dalih tradisi tawan karang Bali (penjarahan bangkai kapal). Akhirnya pada tahun 1908, Belanda meluncurkan invasi terhadap kerajaan Klungkung, dengan dalih mengamankan monopoli candu mereka. Tindakan ini mengakhiri penaklukan Belanda atas Bali, dan pada saat itu telah menjadikan Bali protektorat Belanda. Meskipun beberapa anggota kerajaan Bali masih bertahan, Belanda telah sepenuhnya membongkar institusi kerajaan Bali, menghancurkan kekuasaan dan otoritas raja-raja Bali dan dengan demikian mengakhiri berabad-abad pemerintahan kerajaan Bali. Selama periode Hindia Belanda, ibu kota kolonial Bali dan Kepulauan Sunda Kecil terletak di Singaraja di pantai utara.


Comments

Popular posts from this blog

Politik Etis,Pers Membawa Kemajuan dan Kebangkitan Nasionalisme

Kerajaan-Kerajaan pada Masa Hindu-Buddha