Politik Etis,Pers Membawa Kemajuan dan Kebangkitan Nasionalisme

 Politik Etis,Pers Membawa Kemajuan dan Kebangkitan Nasionalisme.

Politik etis atau politik balas budi adalah suatu gagasan yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Balas budi dipandang sebagai hal yang harus ditunaikan karena telah sekian waktu lamanya Belanda memperoleh keuntungan dari tanah Hindia Belanda sedangkan rakyat pribumi boleh dikatakan menderita kesengsaraan, salah satunya adalah akibat adanya tanam paksa.

Politik etis terlahir karena ada perselisihan paham yang melatarbelakanginya. Ada konflik antara golongan humanis dan golongan liberal di parlemen Belanda.

Conrad Theodor Van Deventer lah yang menjadi salah satu pelopor dari diberlakukannya politik etis. Van Deventer adalah seorang ahli hukum. Melalui tulisan berjudul “Een eereschuld” (hutang kehormatan) yang dipublikasikan di koran De Gids pada tahun 1899, Van Deventer seolah menampar keras-keras pipi Belanda yang telah sekian waktu lamanya menghisap kekayaan Hindia Belanda tanpa menghiraukan kesejahteraan warga pribumi. Tulisan inilah yang akhirnya memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Belanda hingga akhirnya politik etis diberlakukan pada tahun 1901

Pada 17 September 1901 dalam pidatonya Ratu Wilhelmina I mengumumkan bahwa Belanda memiliki kewajiban untuk membayar hutang budi kepada Hindia Belanda.

Ide politik etis diwujudkan ke dalam tiga hal (trias etika ) sebagai berikut:

- Edukasi

adanya akses terhadap pendidikan oleh masyarakat bumi putera. Dengan adanya akses pendidikan, diharapkah ke depannya akan lahir kesetaraan atau emansipasi. Namun, sekolah-sekolah ternyata menetapkan biaya yang tidak murah sehingga tidak dapat diakses oleh pribumi yang tidak memiliki banyak harta.

- Irigasi

ide irigasi ditujukan untuk membantu pribumi supaya dapat mengurus perkebunannya dan dari sana kesejahteraannya dapat terangkat. Namun, pada praktiknya, irigasi yang dibangun justru ditujukan kepada perkebunan para tuan Belanda.

- Transmigrasi

Transmigrasi ditujukan untuk memindahkan orang-orang yang tinggal di Jawa ke daerah lain yang masih sepi penduduk, juga ditujukan untuk membantu masyarakat yang kesulitan memperoleh pekerjaan agar dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Akan tetapi, program transmigrasi yang dijalankan malah dimanfaatkan oleh para pemilik perkebunan untuk mendatangkan buruh murah dari pulau Jawa.

Pers membawa kemajuan

Dalam sejarah perkembangannya pers Indonesia tidak bisa dilepaskan dari situasi masyarakat kolonial pada waktu itu. Munculnya pers di Indonesia bermula dari perkembangan sejarah pers Belanda sampai akhir abad ke-19 di Hindia Belanda. Kemudian menginjak awal abad ke-20 adalah sebuah awal pencerahan bagi perkembangan pergerakan di Indonesia yang ditandai dengan munculnya koran.

Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui pers (media cetak) mengenai isu-isu perubahan. Pers merupakan sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan surat kabar berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan.

Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi.

Dalam perkembangan kemudian kaum bumiputra juga mengambil bagian. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.

Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., Di Yogjakarta Dr. Wahidin Sudirahusada sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillah diterbitkan oleh Firma H. Buning.

 

Bermunculannya media cetak diikuti jurnalis bumiputra seperti R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdull Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co.

Description: koran perjuangan

Para jurnalis bumiputra itulah yang memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentar-komentar mereka dalam surat pembaca. Sementara itu pergerakan kebudayaan “cetak” mulai masuk di beberapa kota kolonial lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang.

1.      Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen. Ketua redaksi majalah itu adalah Dja Endar Muda. Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan “kemajuan” dan “zaman maju”

2.    Tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam tulisant-ulisannya dalam Bintang Hindia ia selalu memuat tentang “kemajuan” dan “dunia maju”.

3.    Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud dengan terbentuknya Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908.

 

Wacana kemajuan terus merebak melalui pers. Pers bumiputra juga mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. Harian Sinar Djawa, memuat tentang perlunya rakyat kecil untuk terus menuntut ilmu setinggi mungkin.

 

Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial saat itu adalah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ide-ide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Komite Boemipoetera (1913). Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana dari rakyat untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda. Di balik itu tujuan panitia adalah mengkritik tindakan pemerintah kolonial yang merayaan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan mencari dana dukungan dari rakyat.

 

Kritik tajam yang ditujuan oleh Suwardi Surjaningrat dengan menulis di brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Saya Menjadi Seorang Belanda). Pada 30 Juli 1913, polisi Belanda menangkap Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Kemudian menyusul Adbul Moeis untuk diasingkan ke luar Jawa. Cipto mulanya diasingkan ke Bangka, kemudian ke Belanda.

 

Seorang jurnalis bumiputera yang gigih memperjuangkan kebebasan pers dikenal dengan nama Semaun. Ia mengkritik beberapa kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia. Kritikannya mengenai haatzaai artikelen, yang menurutnya sebagai sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke penjara.

 

Secara umum, pers mampu memperjuangkan objektivitas, menjadi alat pendidikan, alat penyalur aspirasi, sebagai lembaga pengawasan dan juga sebagai upaya untuk penggalangan opini umum. Dengan demikian, pers dapat berfungsi sebgai alat perjuangan bangsa. Bagi bangsa Indonesia pada masa pergerakan nasional itu, pers dapat berfungsi sebagai alat propaganda demi kepentingan bangsa Indonesia.

 

Kebangkitan nasional adalah masa di mana bangkitnya rasa dan semangat persatuan, kesatuan dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang sebelumnya tidak pernah muncul selama masa penjajahan. Dalam masa ini muncul sekelompok masyarakat Indonesia yang menginginkan adanya perubahan karena penindasan dan penjajahan. Kebangkitan nasional Indonesia ditandai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo. Tanggal 20 Mei 1908 adalah hari lahirnya organisasi sosial pertama di Indonesia, Budi Utomo.

Berdirinya Budi Utomo (BO) pada 20 Mei 1908 dinilai sebagai awal gerakan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Tanggal berdirinya BO diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Namun, penetapan waktu tersebut masih mengundang diskusi yang bersifat polemis.[3][4] Dasar pemilihan BO sebagai pelopor kebangkitan nasional dipertanyakan lantaran keanggotaan BO masih sebatas etnis dan teritorial Jawa. Kebangkitan nasional dianggap lebih terwakili oleh Sarekat islam, yang mempunyai anggota di seluruh Hindia.[5][6]

Pada tahun 1912, Douwes Dekker bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwandi Suryaningrat mendirikan Indische Partij (Partai Hindia).[7] Pada tahun itu juga, Sarekat Dagang Islam yang didirikan Haji Samanhudi bertransformasi dari koperasi pedagang batik menjadi organisasi politik.[8] Selain itu, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, orang yang bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.[9]

Pada November 1913, Soewardi Soerjaningrat membentuk Komite Boemi Poetera. Komite tersebut melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjahan Perancis, tetapi dengan pesta perayaan yang biayanya berasal dari negeri jajahannya. Ia pun menulis "Als ik eens Nederlander was" ("Seandainya aku seorang Belanda") yang dimuat dalam surat kabar de Expresm milik Douwes Dekker. Karena tulisan inilah Suwardi Suryaningrat dihukum buang oleh pemerintah kolonial Belanda.[10]

Pada 4 Juli 1927, Sukarno dan Algemeene Studieclub memprakarsai berdirinya Perserikatan Nasional Indonesia sebagai partai politik baru. Pada Mei 1928, nama partai ini diubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Menurut sejarawan MC Ricklefs, ini merupakan partai politik penting pertama yang beranggotakan etnis Indonesia, semata-mata mencita-citakan kemerdekaan politik.[11]

Sejak 1959, tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, disingkat Harkitnas, yaitu hari nasional yang bukan hari libur yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 untuk memperingati peristiwa Kebangkitan Nasional Indonesia.

FEDERASI DAN FRONT SAWO MATANG.

Organisasi-organisasi pergerakan nasional banyak sekali bermunculan pada sekitar tahun 1920an. Organisasi pergerakan tersebut memiliki ideologi dan latar belakang yang berbeda-beda namun tetap sama satu tujuan, yakni perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, organisasi-organisasi pergerakan nasional sebelum tahun 1927 masih bergerak secara terpisah dan belum ada wadah yang menjadi persatuan antar organisasi pergerakan nasional tersebut.

Hatta pada mulanya menyampaikan gagasan tentang perlunya “ front sawo matang” (federasi organisasi kebangsaan) untuk melawan ‘’front putih’’ (pemerintah kolonial Belanda). Soekarno sependapat dengan Hatta, ia mengembangkan front sawo matang sebagai asas propaganda PNI. Realisasi pembentukan federasi Soekarno mulai melakukan realisasi untuk membentuk front bersama pada 1927. Soekarno merasa yakin jika persatuan bisa diwujudkan, maka perjuangan kemerdekaan pun akan mudah terlaksana. Pada 17-18 Desember 1927, diadakan rapat di Bandung untuk membahas secara resmi gagasan tentang federasi politik dan front sawo matang. Beberapa organisasi pergerakan nasional turut bergabung, seperti PSI, BU, PNI, Sumatranen Bond, Pasundan, Kaum Betawi. Baca juga: Peran Pers dalam Perjuangan Pergerakan Nasional Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan untuk mendirikan federasi PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Dengan tujuan PPPKI sebagai berikut: Mencegah perselisihan antarorganisasi pergerakan nasional. Menyamakan arah dan bekerja sama dalam perjuangan pergerakan nasional. Mengembangkan simbol dan lambang persatuan kebangsaan Indonesia. Dalam buku Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (1980) karya A.K Pringgodigdo, dalam iternal PPPKI tidak diperbincangkan masalah asas dan paham dari organisasi-organisasi pergerakan yang bergabung. Dengan demikian, melalui PPPKI solidaritas antar organisasi pergerakan nasional dapat tercapai.



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kerajaan-Kerajaan Maritim di Indonesia Pada Masa Hindu-Budha (SEJARAH PEMINATAN KLS XI IPS)

Kerajaan-Kerajaan pada Masa Hindu-Buddha