Kesultanan-Kesultanan Maritim Nusantara Masa Islam
Kesultanan-Kesultanan Maritim Nusantara Masa Islam
No. |
Nama Kesultanan |
Sumber Sejarah |
Abad |
Letak |
Sultan Terkenal |
1. |
Aceh |
·
Bustanussalatin ·
Sumber VOC dan Hindia Belanda |
Abad XVI
(1507) |
Aceh |
Iskandar
Muda |
2. |
Demak |
·
Babad tanah jawi ·
Serat kandha |
Abad XVI
(1500) |
Demak,
Jawa tengah |
Raden Patah |
3. |
Mataram |
·
Babad tanah jawi ·
Serat kandha ·
Serat centhini |
Abad XVI
(1586) |
Yogyakarta |
·
Senopati ·
Sultan Agung |
4. |
Banten |
·
Carita parahyangan ·
Catatan Tome Pieres ·
Berita Tiongkok |
Abad XVI
(1526) |
Banten |
Ageng tirtayasa |
5. |
Gowa-Tallo |
Catatan Tome
Pieres |
Abad XVI
(1528) |
Makassar |
Hasanuddin |
6. |
Ternate dan
Tidore |
·
Nagarajretagama ·
Hikayat ternate |
·
1257 (ternate) ·
1322 (tidore) |
Maluku |
·
Baabullah (ternate) ·
Nuku (tidore) |
1.
Kesultanan Aceh
Awal mula berdirinya Kerajaan Aceh yaitu
pada 1496 yang berdiri di wilayah Kerajaan Lamuri yang lebih dulu ada. Kemudian
Kerajaan Aceh melakukan perluasan wilayah dengan menundukan beberapa wilayah di
sekitar kerajaan, seperti wilayah Kerajaan Dayak, Kerajaan Pedir, Kerajaan Lidie,
dan Kerajaan Nakur.
Pada Kerajaan Aceh, pemimpin tertinggi
berada pada penguasaan Sultan. Namun pada saat itu Kerajaan Aceh banyak
dikendalikan oleh orang kaya. Dalam cerita Aceh, disebutkan ada Sultan yang
diturunkan dari jabatannya yang bernama Sultan Sri Alam pada 1579 karena
perilakunya yang membagikan harta kerajaan pada pengikutnya. Lalu digantikan
oleh Sultan Zainal Abidin, namun Sultan Zainal terbunuh setelah beberapa bulan
dinobatkan. Hal ini disebabkan karena sifatnya yang kejam dan memiliki
kecanduan dalam hal berburu. Setelah peristiwa terbunuhnya Sultan Zainal,
digantikan oleh Alaiddin Riayat. Namun pada kepemimpinanya ia melakukan penumpasan
terhadap orang kaya yang berlawanan pada sistem kepemimpinannya.
Masa kejayaan Kesultanan Aceh terjadi
pada kepemimpinan Sultan Iskandar Muda pada 1607-1636. Aceh berhasil menaklukan
Wilayah Pahang, karena wilayah tersebut merupakan sumber utama timah.
Selanjutnya pada 1629, Kesultanan Aceh melakukan perlawanan, dengan menyerang
Portugis di wilayah Malaka. Upaya ini dilakukan untuk melakukan perluasan
dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu, namun ekspedisi ini
gagal.
a.
Perekonomian
Salah satu kerajinan logam di Aceh.
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
1) Minyak tanah dari Deli,
2) Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3) Kapur dari Singkil,
4) Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5) Emas di pantai barat,
6) Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat
pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi.
Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan. Namun
di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada. Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan
Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini
$400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari
wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Prancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu
Rigas, Teunom, dan Meulaboh.
b.
Kebudayaaan
Arsitektur
Gunongan
(Sumber Gambar : www.googlesearch.com)
Kandang (komplek makam Sultan Iskandar Tsany)
(Sumber Gambar : www.googlesearch.com)
Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman
Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada
masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya
yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur
Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa
Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng
melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah
arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa
Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih
bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga
Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam
Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.
c.
Kesusasteraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita
maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang
berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain
yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham
Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal
adalah Bustanus
Salatin (Taman Para
Sultan) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus
Salatin (1612),
dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula
penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar
al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin (Minuman
Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan
Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung
Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
d.
Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang
keagamaan yang dipakai luas di Asia Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan
terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil,
karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam
bahasa jawi. Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal
Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab pengantar
di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya
menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal
adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam
bahasa melayu.
e.
Militer
Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.
(Sumber Gambar : www.googlesearch.com)
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani,
dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh
kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari
kuningan.
2.
Kesultanan Demak
Menjelang akhir abad ke-15,
seiring dengan kemunduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas
kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris takhta
Majapahit. Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul
sebagai kawasan yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak
merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara Raja Demak (Raden Patah)
dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh
kemungkinan besar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Kemungkinan besar putranya adalah orang yang
oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin"
atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putra atau adik
Rodim, yang bernama Trenggana bertakhta dari tahun 1505
sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546. Di antara kedua masa ini
yang bertakhta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan
Demak berhasil menundukkan Majapahit.
Berdasarkan Babad Tanah Jawi, pendiri Kerajaan Demak adalah Raden Fatah
atau Praba atau Raden Bagus Kasan (Hasan) memiliki gelar Jin Bun (gelar Tiongkok)
sering disebut juga Senapati Jinbun atau Panembahan Jinbun bergelar Sultan Syah
Alam Akbar Al-Fatah. (1455-1518) Memerintah Kerajaan Demak tahun 1500 - 1518.
Raden Fatah merupakan anak Raja
Wilwatikta (Majapahit versi orientalis Belanda) bernama Brawijaya V yang lahir
di Kota Palembang dari istri (selir) bernama Siu Ban Ci (menurut Purwaka
Caruban Nagari) Brawijaya V berdarah Tionghoa putri dari Kyai Batong (Tan Go
Hwat), Karena istri Brawijaya V Ratu Dwarawati cemburu maka Siu Ban Ci hijrah
ke Palembang bersama Ario Damar yang merupakan anak dari Brawijaya III, yang
akhirnya dinikahi oleh Ario Damar dan melahirkan anak Raden Kusen. Saat Ciu Ban
Ci hijrah ke Palembang sedang hamil anak dari Brawijaya V dan melahirkan Raden
Fatah di Kota Palembang. Gelar lengkap Raden Fatah Senapati Jimbun Abdurahman
Penembahan Palembang Sayidin Panatagama Sultan Syah Alam Akbar Al-Fatah.
a. Pelabuhan
Kerajaan Demak Bintoro memiliki
dua pelabuhan, yaitu:
·
Pelabuhan niaga = di sekitar Bonang (Demak)
·
Pelabuhan militer = di sekitar Teluk Wetan (Jepara)
b. Masa Keemasan
(Sumber Gambar : www.googlesearch.com)
c.
Peta Masa
Kerajaan Demak
Pada awal abad ke-16, Kerajaan
Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa, tidak satu pun kerajaan
lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas
kekuasaannya dengan menundukkan beberapa kawasan pelabuhan dan pedalaman
di Nusantara.
d. Pemerintahan Pati Anus
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai
kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam
dengan pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya
untuk menyerang Portugis di Malaka.
e. Pemerintahan Trenggana
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya
seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), juga
menaklukkan hampir seluruh Pasundan/Jawa Barat (1528 - 1540) serta
wilayah-wilayah bekas Majapahit di Jawa Timur seperti Tuban (1527), Madura
(1528), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527 - 1529), Kediri (1529),
Malang (1529 - 1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu
terakhir di ujung timur pulau Jawa (1529 - 1546). Trenggana meninggal pada
tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu
itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatra), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati[4] diperintah oleh Trenggana untuk
menundukkan Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana
Hasanudin menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin
utama dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.
f.
Kemunduran
Suksesi raja Demak ketiga tidak
berlangsung mulus, terjadi persaingan panas antara P.
Surowiyoto (Pangeran Sekar) dan Trenggana yang berlanjut dengan di bunuhnya P. Surowiyoto
oleh Sunan Prawoto (anak Trenggana), peristiwa ini terjadi di tepi sungai saat Surowiyoto pulang
dari Masjid sehabis sholat Jum'at. Sejak peristiwa itu Surowiyoto (Sekar)
dikenal dengan sebutan Sekar Sedo Lepen yang artinya sekar gugur di sungai.
Pada tahun 1546 Trenggana wafat dan tampuk kekuasaan
dipegang oleh Sunan Prawoto, anak Trenggana, sebagai raja Demak keempat, akan tetapi pada
tahun 1547 Sunan Prawoto dan
isterinya dibunuh oleh pengikut P. Arya
Penangsang, putra Pangeran
Surowiyoto (Sekar). P. Arya
Penangsang kemudian menjadi penguasa takhta Demak sebagai raja
Demak kelima. Pengikut Arya Penangsang juga membunuh Pangeran
Hadiri,penguasa Jepara / Kalinyamat (Suami Ratu Kalinyamat). Hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah
Demak memusuhi P. Arya
Penangsang, salah satunya adalah Adipati Pajang Jaka Tingkir (Hadiwijaya).
Pada tahun 1554 terjadilah
pemberontakan dilakukan oleh Adipati Pajang Jaka Tingkir (Hadiwijaya) untuk merebut kekuasaan Demak
dari Arya Penangsang. Dalam
peristiwa ini Arya Penangsang dibunuh
oleh Sutawijaya, anak angkat Jaka Tingkir. Dengan terbunuhnya Arya Penangsang sebagai raja Demak kelima, maka
berakhirlah era Kesultanan Demak. Jaka Tingkir (Hadiwijaya) memindahkan pusat pemerintahan
ke Pajang dan mendirikan Kerajaan Pajang.
3.
Kesultanan Banten
Kesultanan Banten adalah
sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan, Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526,
ketika kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan
pesisir barat Pulau Jawa, dengan
menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan
militer serta kawasan perdagangan sebagai antisipasi terealisasinya perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis tahun 1522 m.
Maulana Hasanuddin,
putra Sunan Gunung Jati berperan
dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin
mengembangkan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan (dibangun 1600 M) menjadi kawasan kota
pesisir yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi
kesultanan yang berdiri sendiri. Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu
bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang di waktu bersamaan
penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang
saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun
perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni
Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir
runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol
kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintahannya,
para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial
di Hindia Belanda.
a. Agama
Lukisan litograf Masjid Agung Banten pada kurun 1882-1889
(Sumber Gambar : www.googlesearch.com)
Berdasarkan data
arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang
membawa keyakinan Hindu-Buddha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan
Sunda. Dalam Babad Banten menceritakan
bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin,
melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta
penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di
Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan
dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan
Pajajaran.
Islam menjadi pilar
pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai
kepada Nabi Muhammad,
dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan
masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga
berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian
yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan
Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan
peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab
dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam
penegakan hukum Islam
seperti hudud.
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi
oleh muslim,
tetapi komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di
mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada
kawasan sekitar pelabuhan Banten.
b.
Kependudukan
Kemajuan Kesultanan Banten
ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis Nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten
diperkirakan terdapat antara 100.000 sampai 200.000 orang lelaki yang siap
untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut
sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang
paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan
dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan
penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekitar 55.000 orang. Jika keseluruhan
penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah
sekitar 150.000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar tahun 1676 ribuan
masyarakat Tiongkok mencari suaka dan
bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Tiongkok Selatan lainnya.
Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai
serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab.
Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Prancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di
sekitar Ci Banten.
c.
Perekonomian
Dalam meletakkan dasar
pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman
pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena
pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak,
perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang
siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya
istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga
istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama
peralatannya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663
dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan
menggunakan tenaga sebanyak 16.000 orang. Di sepanjang kanal tersebut,
antara 30 dan 40.000 ribu hektare sawah baru dan ribuan hektare
perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk
orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Tiongkok pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di
bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dimungkiri sampai pada
tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang
dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada
masa tersebut.
d.
Pemerintahan
Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876
(Sumber Gambar : www.googlesearch.com)
Setelah Banten
muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan,
sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran
Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang
disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan
gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang
memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat
Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu
Bagus), ratu atau sayyid,
dan golongan khusus lainnya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri
atas kaum ulama, pamong praja,
serta kaum jawara.
Pusat
pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan
tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana
Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara
di sebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara
berbentuk mercusuar yang kemungkinan dahulunya
juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di
Banten. Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi
pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten, yang
dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun
terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai
tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan
rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dipengaruhi oleh konsep
Hindu-Buddha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala.
Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang
mewakili etnis tertentu,
seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan
Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singgah ke Banten, pemungutan
cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan
yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada
masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
e.
Warisan Sejarah
Setelah
dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi.
Pada masa pemerintahan Hindia
Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan,
dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat.
Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk
menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi
pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri
yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Selain itu
masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai
oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan
Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah
satu kekuatan yang dominan di Nusantara.
4.
Kesultanan Mataram
Kesultanan Mataram (bahasa Jawa: ꦤꦒꦫꦶꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦩꦠꦫꦩ꧀; Nagari Kasultanan
Mataram, kadang disebut Mataram Islam atau Mataram Baru)
adalah suatu negara Islam berbentuk kesultanan di pulau Jawa yang pernah ada pada abad ke-17. Kesultanan
ini sudah didirikan sejak abad ke-16, namun baru menjadi sebuah negara berdaulat
di abad ke-17 yang dipimpin suatu wangsa yang bernama Wangsa Mataram. Awal mulanya berupa wilayah Alas Mentaok yang diberikan oleh Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pamanahan atas
jasanya, kemudian menjadi suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang. Keraton Kotagede menjadi
pusat awal pemerintahan. Sultam pertama yang berdaulat adalah Panembahan Senapati, putra dari Ki Ageng Pamanahan.
Mataram pada masa keemasannya pernah
menyatukan pulau Jawa (kecuali wilayah Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon) dan
sekitarnya, termasuk Madura. Kesultanan ini
pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin luasnya kekuasaan
perusahaan dagang itu, namun ironisnya, Mataram menerima bantuan VOC pada
masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan
berbasis agraris. Namun keberadaan kerajaan ini memberikan bukti
peninggalan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti
kampung Matraman di Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat,
penggunaan Carakan dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa pembagian wilayah administrasi yang
masih berlaku hingga sekarang.
a. Masa Awal
Danang Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut
wilayah Pajang sepeninggal Sultan Hadiwijaya dengan gelar Panembahan
Senapati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kesultanan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Kotagede, wilayah yang
terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto
sekarang. Lokasi keratonnya pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Keraton Kotagede. Sesudah
ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan
diteruskan oleh putranya Raden Mas
Jolang yang setelah naik takhta bergelar Sri Susuhunan
Hadi Prabu Hanyakrawati.
Pemerintahan Hanyakrawati tidak berlangsung lama karena dia wafat
karena kecelakaan saat berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda
hing Krapyak atau Panembahan Seda hing Krapyak yang
artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu takhta beralih
sebentar ke tangan putra keempat Raden Mas Jolang yang bernama Raden Mas Wuryah
bergelar Adipati Martapura.
Ternyata Adipati Martapura menderita penyakit saraf sehingga takhta beralih ke
putra sulung Raden Mas Jolang yang bernama Raden Mas Rangsang yang kelak
bergelar Sri Sultan Agung Hadi Prabu Hanyakrakusuma pada masa
pemerintahan Raden Mas Rangsang, Mataram mengalami masa keemasannya.
b.
Sultan Agung
Sesudah naik takhta Raden Mas
Rangsang bergelar Sri Sultan Agung Hadi Prabu Hanyakrakusuma atau
lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari
pengaruh di Jawa. Pada puncak kejayaannya, wilayah kekuasaan Mataram mencakup
sebagian Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, sebagian besar Jawa Barat, DIY, dan Jawa Timur sekarang, dengan pengecualian daerah Blambangan atau yang sekarang adalah wilayah Probolinggo hingga Banyuwangi). Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta (Jw.
"kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat
terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang
berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan
terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat
(dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya
bernama Raden Mas Sayidin yang bergelar Sri Susuhunan Hadi Prabu
Hamangkurat I atau Hamangkurat I.
c.
Terpecahnya
Mataram
(Sumber Gambar : www.googlesearch.com)
Peta Mataram Baru yang telah dipecah
menjadi empat kerajaan pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro. Pada peta ini terlihat bahwa Kasunanan Surakarta memiliki
banyak enklave di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan
wilayah Belanda. Mangkunagaran juga memiliki sebuah enklave di Yogyakarta.
Kelak enklave-enklave ini dihapus.
Susuhunan Amangkurat I memindahkan lokasi keraton
ke Plered pada tahun
1647. Tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar
sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang
Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak
ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang
dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat
bersekutu dengan VOC. Pada tahun 1677, ia wafat di Tegalarum ketika
mengungsi, sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Sunan Amral), sangat patuh pada VOC
sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus
terjadi. Pada masanya, keraton dipindahkan lagi ke Kartasura, sekitar
5 km sebelah barat Pajang karena keraton yang lama dianggap telah
tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut
adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV
(1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III
karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja.
Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal.
Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga
tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon (sebutan dunia Internasional dari Sri Lanka).
Kekacauan politik baru dapat
diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram
menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang
dalam Perjanjian Giyanti (nama
diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah Kesultanan Mataram
sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian
masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah
"ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
Comments
Post a Comment